Tuesday, January 10, 2017

I always wonder about the power of love. True love.
Aku pernah membaca sebuah pernyataan. Kalau tidak salah, dari Anis Matta. Beliau menulis bahwa hadiah terbaik bagi dua orang yang saling mencintai adalah pernikahan. Walau tak selalu ada cinta untuk berujung pada pernikahan. Cinta akan datang setelah ikatan yang menggetarkan langit itu disahkan antara dua insan yang meniatkan untuk saling setia, bersabar, dan memahami.

Bagiku, pernikahan adalah berarti menemukan jiwa lain untuk berbagi dan memahami. Disanalah perasaan nyaman itu didapat. Maka tidaklah heran ketika ada pasangan yang terlihat selalu bahagia meski tidak bergelimang harta seperti sebagian pasangan yang lainnya. Namun sungguh, persepsiku tidak selalu benar. Ada saja aku temukan pasangan yang tetap bertahan meski keseharian mereka berbumbu ketidaknyamanan.

Ketika aku belum menikah, aku selalu berpikir bahwa tidak ada lagi yang bisa dipertahankan jika salah satu sudah berani menyakiti dengan sengaja, terutama secara fisik. Bahkan dalam Islam, ketika suami sudah melontarkan kata "cerai", maka jatuhlah talak. Konon karena pria adalah makhluk yang logikanya lebih hebat dibanding wanita, walau pada berbagai kasus, tidak selalu begitu.

Sekarang, ketika aku sudah menikah walau baru, aku semakin tidak mengerti apa yang dipertahankan oleh pasangan yang sesungguhnya kebersamaan mereka bukan saling menenangkan namun justru meresahkan. Jika memang suami tidak lagi bisa mencintai istri dan (mungkin) anak-anaknya, serta tak mampu lagi menjadi imam terbaik, mengapa hal itu hanya sekedar terlontar di bibir? Bukankah setiap orang berhak bahagia?