Tuesday, December 15, 2015

Naik Naik ke Puncak Gunung

Baiklah, berkurangnya daya beli akibat kebokekan jangan sampai mengurangi daya kreasi. Meskipun akibat dari kebokekan menyebabkan saya belum lagi bisa naik gunung, namun untuk menjaga semangat dan stamina serta atmosfer dalam diri untuk suatu saat kembali mendaki, maka pagi ini di kala kantor masih sangat sepi, saya akan berbagi sedikit tips untuk melakukan pendakian.

Pendakian sesungguhnya bukan melulu tentang puncak. Jika seorang pendaki dapat mencapai puncak, tentu saja itu sebuah prestasi yang patut dibanggakan, mengingat segala daya upaya untuk menginjakkan kaki disana tidaklah mudah. Perjuangan untuk menaklukkan diri hingga bertahan menghadapi segala tantangan dan godaan untuk berhenti dan menyerah bahkan datang jauh sebelum pendakian yang sebenarnya dilakukan.

Kiat-kiat di bawah ini saya tulis berdasarkan pengalaman saya dan pengalaman orang lain. Namun, sebagian besar sudah pernah saya alami sendiri. So, it's not lip service only. I have done and been doing it.

Kiat pertama : Siapkan fisik yang bugar


Pastikan kita dalam kondisi sehat, jasmani dan rohani. Jangankan mendaki gunung, mau berangkat ke mall aja kita harus sehat, kan? Nah, jika hendak mendaki gunung, lakukanlah olah raga rutin minimal dua kali sepekan untuk menjaga kebugaran tubuh. Menjelang pendakian, jaga makanan, supaya tubuh kooperatif selama pendakian.
Usia muda, tubuh bagus, ideal, proporsional, belum tentu menjamin bahwa kita bugar loh. Buktinya? Banyak! Saya pernah baca blog orang yang menceritakan bahwa berat tubuhnya sudah turun 20 kilogram dan dengan percaya dirinya, dia memutuskan untuk melakukan pendakian ke Gunung Gede. Ternyata apa yang terjadi? Doi ngos-ngosan, susah payah bernapas apalagi melangkah. Contoh sebaliknya, ini cerita teman saya sewaktu kami tergabung dalam rombongan untuk mendaki Gunung Gede. Teman saya ini bertemu seorang bapak, umurnya lebih dari 50 tahun, mendekati masa pensiun. Bapak ini bersama seorang temannya mengagendakan untuk mendaki Gunung Gede, setidaknya sekali dalam setahun. sebagai konsekuensinya, bapak ini pun memaksakan dirinya untuk rutin berolahraga. Saya menyaksikan sendiri betapa lelaki setengah baya ini dengan gagahnya melakukan pendakian padahal tubuhnya ya sudah tidak bisa dibilang muda lagi.

Kiat kedua : Siapkan perbekalan yang cukup.

Ingat dan camkan ini! Di gunung tidak ada swalayan. Di beberapa gunung, ada saja sih penjual makanan dan minuman, tapi harganya mahal dan kadang rasanya amburadul! Ini pengalaman teman saya, beli nasi uduk di atas gunung dengan harga mahal dan ketika dimakan, nasinya nggak mateng, haha nasib! Lagipula, kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi. Beberapa kasus meninggalnya pendaki di gunung, karena mereka terpisah dari rombongan dan tidak bawa bekal sendiri. Biasanya perempuan nih, yang memaksakan naik gunung, ketika nggak kuat, minta ranselnya dibawakan oleh teman laki-laki. Padahal segala perbekalan ada di dalam ransel. Kalau dia terpisah dari rombongan, trus gimana? Makan daun? Iya kalo doyan dan tahu daun apa aja yang bisa dimakan, kalo nggak?

Kiat ketiga : Pengemasan barang yang rapi

Rapi disini bukan sekedar tidak acak-acakan, tapi juga disusun sesuai waktu pemakaian dan dijaga agar tidak basah, jika kehujanan di perjalanan. Barang-barang seperti makanan siap santap (coklat, roti, madu, dsb), air minum, jas hujan, senter, tisu, simpan di bagian ransel yang mudah digapai. Nggak lucu kan kalo dalam keadaan kehausan atau hujan, kita malah bongkar ransel nyari air minum atau jas hujan? Tenda, baju ganti, kantung tidur, simpan di bagian paling dalam. Matras sebagai frame ransel. Kompor dan makanan untuk dimasak, bisa disimpan di tengah ransel. Oh iya, pastikan semuanya terbungkus plastik agar tidak basah.

Kiat keempat : Be happy!

Jika semuanya sudah terencana dan disiapkan dengan baik, yakinkan diri bahwa kita akan melakukan pendakian dengan hati senang. Mendaki itu berarti memasrahkan diri pada alam. Hujan, panas, tidak boleh mengeluh. Siapa suruh mendaki? Kalau termasuk orang yang grumpy, mending batalkan niat untuk mendaki. Kasihan sama teman yang mendaki juga. Mendaki itu membutuhkan energi yang nggak sedikit. Jangan sampai sudah capek badan, lelah hati pula.

Kiat kelima : Bawa pulang sampah

Hello, gunung bukan tempat sampah, loh! Sampah yang kita bawa ke gunung, HARUS kita bawa pulang lagi. Gregetan deh, sama orang yang buang sampah sembarangan dimanapun termasuk di gunung. Orang yang meninggalkan sampah di gunung dengan sengaja, bisa saya pastikan mereka naik gunung bukan karena mencintai alam, tapi hanya mau selfie dan dipajang di medsos. Hayo ngaku! Huh!

Nah, semoga kiat-kiat di atas bermanfaat ya. Sejauh ini, menurut saya mendaki itu sangat sangat menyenangkan. Yuk, kapan mendaki bareng! *wink*

Monday, December 14, 2015

Sabtu Bersama Bapak

Oh, well today is like a lucky day of mine. Sendirian di kantor hingga hampir jam sembilan itu menyebalkan di satu sisi tapi mengasikkan di sisi lain. Saya bisa foto-foto novel yang baru saya beli tanpa ada yang menyaksikan apalagi komentar. Sebagai seorang introvert, sendiri ketika melakukan hal yang agak absurd itu, asik. Anyway, why is it so hard to upload pictures in blogspot lately?

Jadi, sekitar dua pekan yang lalu, akhirnya saya nggak tahan lagi berpuasa beli novel. Berseluncur di dunia maya dan menemukan toko buku online yang ngasih diskon yang menggiurkan. Toko buku yang berjasa menyelamatkan saya dari keadaan yang lebih bokek itu adalah www.bukabuku.com.

Beberapa pekan ini, saya sering membaca blog seorang penulis di www.suamigila.com. Dari blog itu juga, saya jadi tertarik untuk membeli sebuah novel yang kemudian berbuah pembelian novel lainnya. *nangis depan laptop sambil liat isi dompet*

Novel itu berjudul, "Sabtu Bersama Bapak". Dari awal saya baca promosi novel ini di blog penulisnya, saya langsung tertarik. Di bagian belakang, terdapat kutipan dari isi novel. Percakapan seorang ayah dengan dua anak laki-lakinya. Hangat namun berwibawa.

Novel ini bercerita tentang Ibu Itje yang berjuang bersama kedua anaknya untuk menghadapi dunia dengan "didampingi" sang bapak melalui pesan-pesan keren darinya. Pesan-pesan dari bapak ini telah dipersiapkan agar bapak tetap bisa mendampingi anak-anaknya, Satya dan Cakra menghadapi dunia dan menjadi orang-orang yang sukses meski tak lagi bersama. Begitu pun, bapak tetap membersamai mamah alias Bu Itje. Pesan-pesan bapak selalu ditonton bersama pada hari Sabtu. Jadilah hari Sabtu adalah hari yang paling dinantikan di antara deretan hari lain.

Di kata sambutannya, Adhitya Mulya sang penulis, mengatakan bahwa sejauh ini, "Sabtu Bersama Bapak" adalah novel yang paling dekat dengan hatinya. Dalam novel ini, bapak memberi pesan-pesan sesuai fase kehidupan Satya dan Cakra. Ada pesan bapak untuk Satya dan Cakra ketika mereka masih kecil, remaja, dewasa, menjelang pernikahan hingga how to be a good husband and father. Tokoh bapak ini didesain sebagai well-planned person. Beberapa peristiwa yang diceritakan oleh penulis, pernah saya baca juga di blognya. Jadi, beberapa kejadian, mungkin (mungkin loh ya..) berdasarkan kisah pribadi penulisnya.

Gaya bahasa novel ini ringan dan hangat. Tidak ada kata-kata yang ketika membacanya saya harus mengernyitkan dahi atau membuka aplikasi KBBI atau dictionary. Semuanya dapat dengan mudah dicerna dan mengena di hati.

Must read book bukan hanya untuk para lelaki yang berstatus suami dan ayah atau one day akan jadi suami dan ayah tapi juga buat para perempuan. Toh, menjadi seorang yang well-planned kan tanggung jawab semua orang. Dalam novel ini, bapak banyak berpesan bagaimana merencanakan kehidupan agar tidak menyusahkan orang lain.

Saya suka sekali dengan kalimat, "Ketika kecil jangan sampai menyusahkan orang tua dan ketika tua jangan menyusahkan anak".

Friday, December 11, 2015

No Title, Just Grumbling

Why do people (most of), always makes their very own perception that single tribe is the most pathetic creature in the universe? Also have their understanding that the tribe needs to be helped of finding their soulmates, so they act like they care and give any names that available to be. While in fact, the tribe doesn't really need to, if they only pretend to care. If they only find something to talk about. If they only think that it will make us happy (but it won't).

Thank you to those who really care among the other who pretend to be.

Okay, that's it! 

Thursday, December 10, 2015

Sometimes, It's Just Not Enough

The sun shines brightly today, since the very morning when I walked to work. I can't even widely open my eyes. It's too bright. Actually, it wasn't too bright. I just wasn't ready for the usual normal sunshine. I was still expecting sun shines in a cloudy sky. I mean, it's supposed to be still in rainy season, isn't it? I still need extra time to enjoy walking in the rain and memorize things I did when I was a kid. Walking, running, playing in the rain. What a nice moments to remember and always playing around my mind every time rain comes. For some people, rain speaks about romantic, sad memories in the same time. For me, rain speaks about LIFE! 

I wasn't ready to face that rainy season is over today. No! It has to be still in rainy time. It's still December. December has to be wet of rain. Never miss rain until this year which is poor of rain.

Something whispered in my ear that I'm not ready to let rain go, because I haven't spent my time for enough walking, running, or playing in the rain. Not enough for being wet and drown in the memories of rain.

Therefore, sometimes we are not ready to let some people go on their own life, because we haven't feel it's enough to spend precious time or emotion with them. When that happen, the only thing we can do is letting go. Just let go and we'll feel the best freedom. Seriously. I did.

Monday, December 7, 2015

Another Simple Little Happiness

This morning,
I said hello to some neighbor while walking to work
Then an unknown woman said me hello while I was waiting for a bus
I saw a father ride his son and daughter to school
I enjoyed seeing both children kissed their father's hand
Then I smiled
Oh, butterflies complete my perfect morning time
Knowing my life is full of beautiful random things
No reason to be unhappy
Alhamdulillah

Friday, December 4, 2015

Lagi Lagi...

Hari ini, sama seperti beberapa hari belakangan, saya sedang sepi job di kantor dan berbuatlah saya secara lebih random. Satu hal yang statis adalah dimulai dengan membuka laptop. Tanpa berpikir panjang, saya mengetuk tab whatsapp dan telegram di web. Sejenak kemudian, mulailah grup teman-teman senasib aktif. Ini adalah grup yang hanya aktif di jam kerja karena sebagian besar anggotanya hanya mengaktifkan telegram di kantor, menggunakan PC kantor, dan jaringan internet kantor. Maafkan kami. lol.

Perbincangan random terjadi, mulai dari kabar masing-masing, apa yang sedang dikerjakan, hingga tukin alias tunjangan kinerja. Berapa besarannya dan lain sebagainya. Teman saya malah sudah menghitung berapa yang akan kami terima nanti. Bayangkan betapa galaunya kami. Gajian saja belum terima, sudah sibuk memikirkan tukin. *sigh*

Sejak kemarin, saya lebih suka menguasai duduk di kursi dan meja rapat yang kurang berdaya guna selain digunakan untuk makan dan nonton TV. Well, nice try! Little isolated but cozy for me. Siang hari, datanglah seorang dosen yang juga ditugaskan di unit ini. Wajah pak dosen seperti biasa, ekspresinya saya duga karena sinar matahari siang di luar yang kelewat terik. Maklumlah, ini Serang, bukan Tokyo. Beliau meletakkan ranselnya di meja tepat depan saya dan melangkah ke dalam untuk menyapa teman-teman yang lain. Tidak lama, kembali lagi mengambil sesuatu di ranselnya dan menggumam, "Waduh! Baru tanggal segini, uang udah habis!"
Saya spontan nyengir dan berkomentar, "Nggak papa, Pak. Kalau habis kan nanti datang lagi."
Pak dosen nyengir, lalu saya komentar lagi, "Uang kan emang buat dihabisin, Pak." Sambil nyengir lebih lebar.
Pak dosen bilang, "Emangnya kumis, dicukur tumbuh lagi?" Saya ngakak kali ini.

Yes, lagi-lagi uang! Jadi ingat perbincangan saya dengan seorang teman. Dalam Islam, rizki dan uang itu tidak berada dalam chapter yang sama, karena rizki itu pada hakikatnya bukan sekedar uang. Kalau ada orang tua dengan anak-anak yang semuanya patuh, sehat, dan cerdas, maka itu lebih dari sekedar uang sekian juta rupiah yang dimiliki oleh pasangan lain yang bertahun menanti anak atau yang anggota keluarganya diberi ujian sakit.

Buat saya sih, setiap hari ada saja hal yang dengan mudahnya bisa disyukuri. Meski drama dalam kehidupan seakan tidak pernah berhenti dipertontonkan namun sepanjang cerita dan di akhirnya nanti akan selalu ada hikmah yang bisa dipetik.

#mendung syahdu dan geluduk

Thursday, December 3, 2015

Opang vs Go Jek

Dua malam yang lalu saya menonton acara komedi yang dikemas serupa dengan acara serius. Indonesia Lawak Klub (ILK). Setting ruangan dan moderator serta para komentator pun dibuat mirip-mirip dengan acara serius panutannya, Indonesia Lawyers Club (ILC). Saya juga tidak terlalu sering nonton acara ini sebenarnya tapi malam itu, tema yang diangkat adalah Ojek Pangkalan versus Go Jek.

Ojek Pangkalan adalah ojek yang mungkin hadir tidak lama setelah kemerdekaan Negara Republik Indonesia. Maksud saya, sudah lama ada, seingat saya sih, dari kecil saya sudah familiar dengan yang namanya ojek pangkalan. Walau memang akhir-akhir ini, pengojek yang mangkal semakin banyak karena sepertinya pekerjaan sebagai pengojek ini menjadi solusi bagi beberapa orang yang butuh tambahan penghasilan atau bahkan mereka yang belum punya pekerjaan tetap. Dulu, orang tua murid di sekolah tempat saya mengajar, lebih dari separuhnya bekerja atau mencari "sampingan" sebagai pengojek. 

Beberapa waktu belakangan ini, sekitar Indonesia dihebohkan dengan hadirnya ojek yang bisa dipesan melalui aplikasi. Nama layanan ojek ini adalah Go Jek. Didirikan tahun 2011 oleh dua pemuda keren, Nadiem Makarim dan Michaelangelo Moran. Sepanjang pengetahuan saya, selain mengantar manusia, pengemudi Go Jek bisa juga diminta untuk mengantarkan barang, dokumen serta membelikan barang dari suatu tempat jika dibutuhkan.

Bagi saya, Go Jek ini sungguh keren karena meningkatkan prestise dan pendapatan para pengemudinya. Terbukti, menurut para pengemudinya dan seorang pengemudi yang hadir di acara itu, penghasilan mereka lebih besar berkali-kali dibanding ojek pangkalan atau opang. Selain itu, pengemudi Go Jek juga mengaku bisa belajar banyak hal. Mulai dari mengoperasikan aplikasi, memilih dan membeli barang yang sebelumnya mungkin tidak terpikir untuk membeli hingga mengantarkan dokumen lalu bertemu orang-orang penting yang menantikan dokumennya. Eksklusif, bukan? Jadi, bukan hanya meningkat secara finansial tapi juga secara intelektual. Toh, rejeki bukan sekedar berduit, kan?

Lalu, kenapa sih para opang banyak yang tidak mau beralih menjadi pengemudi Go Jek? Mengingat beberapa keuntungan yang didapat dengan bergabung menjadi pengemudi Go Jek. Kurang lebih begini kesaksian seorang pengemudi ojek pangkalan yang hadir di acara itu ketika ditanya kenapa tidak tertarik menjadi pengemudi Go Jek, "Kalo Go Jek itu kan harus mau jemput-jemput pelanggan yang jauh-jauh tempatnya. Kalo mangkal kan tinggal nunggu giliran, nggak usah kemana-mana bisa sambil baca koran, ngobrol." #gubrak

Well, buat saya semua orang bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri. Namun, kemajuan bangsa ini, menjadi tanggung jawab kita semua, bukan? Jika ada orang yang untuk kemajuan dirinya sendiri saja mereka enggan bergerak, bagaimana mereka bisa memajukan bangsa ini? Jadi pengen pasang quotenya Bill Gates, "If you born poor, it's not your mistake. But, if you die poor, it's your mistake."


Wednesday, December 2, 2015

Hubungan Biasa tapi Istimewa

Saya masih ingat, sekitar tahun 90an, angkutan kota atau biasa disingkat angkot di kota saya, memiliki dua orang kru. Kedua kru ini adalah pengemudi dan asistennya. Pada masa itu, saya sering memperhatikan kedua kru ini ketika saya menumpang angkot. Kalau istilah jaman sekarang, kedua kru ini selalu saja memiliki chemistry yang kuat. Pun sekarang, ketika moda transportasi saya pindah ke bis antar kota antar propinsi atau bis AKAP. Chemistry diantara kedua kru bis yang saya tumpangi juga selalu kuat. Hubungan antara kedua kru angkutan ini menarik bagi saya bahkan sejak dulu. 

Sering kali, pengemudi bicara ke asistennya tentang sesuatu secara sekelebat, tidak jelas terdengar atau bahkan sama sekali tidak terdengar, asistennya langsung tanggap bereaksi. Pernah di satu waktu, pengemudi bicara sesuatu entah apa, lalu sang asisten dengan sigap langsung membongkar sesuatu di balik kursi dan bilang, "Habis, ga ada lagi." Entah apa yang ditanyakan pengemudi. Tadi pagi dan ini yang paling sering saya lihat, pengemudi bicara entah apa, lalu asistennya menyodorkan sejumlah uang. Bisa untuk bayar tol, bisa juga untuk bayar tol sekalian ditukar menjadi uang receh sebagai kembalian untuk penumpang. Chemistry ini kelihatan sangat kuat terutama kalau pengemudi dan asisten cenderung pendiam. Ketika asistennya turun dari bis untuk menarik penumpang, pengemudi tahu persis kapan harus menjalankan kendaraannya meski tanpa aba-aba. Walau buru-buru, tapi asistennya tidak pernah ketinggalan, hehe. 

Oh ya, saya pernah melihat juga ketika hubungan ini merenggang. Entah apa masalahnya, sepanjang perjalanan pengemudi terlihat kurang senang pada asistennya. Pengemudi terlihat kesal dan berkali-kali bicara dengan nada dan kata-kata kasar pada asisten. Hasilnya, asisten juga jadi terlihat salah tingkah. Asisten lebih suka berdiam dekat pintu belakang dan hanya sesekali ke depan. 

Mereka tentu merasa saling membutuhkan. Pengemudi tidak mungkin mengambil ongkos dari penumpang atau turun dari bis untuk mengajak penumpang naik bis karena harus mengemudi. Begitu juga sebaliknya, asisten tidak mungkin mengajak penumpang naik bis serta mengambil ongkos kalau pengemudi mogok.

Hubungan ini biasa tapi sebenarnya istimewa. Chemistry yang terbangun di antara kedua profesi ini bagi saya istimewa. Suka sekali saya mengamatinya. This is one of the things that made my day.

Morning!