Tuesday, December 15, 2015

Naik Naik ke Puncak Gunung

Baiklah, berkurangnya daya beli akibat kebokekan jangan sampai mengurangi daya kreasi. Meskipun akibat dari kebokekan menyebabkan saya belum lagi bisa naik gunung, namun untuk menjaga semangat dan stamina serta atmosfer dalam diri untuk suatu saat kembali mendaki, maka pagi ini di kala kantor masih sangat sepi, saya akan berbagi sedikit tips untuk melakukan pendakian.

Pendakian sesungguhnya bukan melulu tentang puncak. Jika seorang pendaki dapat mencapai puncak, tentu saja itu sebuah prestasi yang patut dibanggakan, mengingat segala daya upaya untuk menginjakkan kaki disana tidaklah mudah. Perjuangan untuk menaklukkan diri hingga bertahan menghadapi segala tantangan dan godaan untuk berhenti dan menyerah bahkan datang jauh sebelum pendakian yang sebenarnya dilakukan.

Kiat-kiat di bawah ini saya tulis berdasarkan pengalaman saya dan pengalaman orang lain. Namun, sebagian besar sudah pernah saya alami sendiri. So, it's not lip service only. I have done and been doing it.

Kiat pertama : Siapkan fisik yang bugar


Pastikan kita dalam kondisi sehat, jasmani dan rohani. Jangankan mendaki gunung, mau berangkat ke mall aja kita harus sehat, kan? Nah, jika hendak mendaki gunung, lakukanlah olah raga rutin minimal dua kali sepekan untuk menjaga kebugaran tubuh. Menjelang pendakian, jaga makanan, supaya tubuh kooperatif selama pendakian.
Usia muda, tubuh bagus, ideal, proporsional, belum tentu menjamin bahwa kita bugar loh. Buktinya? Banyak! Saya pernah baca blog orang yang menceritakan bahwa berat tubuhnya sudah turun 20 kilogram dan dengan percaya dirinya, dia memutuskan untuk melakukan pendakian ke Gunung Gede. Ternyata apa yang terjadi? Doi ngos-ngosan, susah payah bernapas apalagi melangkah. Contoh sebaliknya, ini cerita teman saya sewaktu kami tergabung dalam rombongan untuk mendaki Gunung Gede. Teman saya ini bertemu seorang bapak, umurnya lebih dari 50 tahun, mendekati masa pensiun. Bapak ini bersama seorang temannya mengagendakan untuk mendaki Gunung Gede, setidaknya sekali dalam setahun. sebagai konsekuensinya, bapak ini pun memaksakan dirinya untuk rutin berolahraga. Saya menyaksikan sendiri betapa lelaki setengah baya ini dengan gagahnya melakukan pendakian padahal tubuhnya ya sudah tidak bisa dibilang muda lagi.

Kiat kedua : Siapkan perbekalan yang cukup.

Ingat dan camkan ini! Di gunung tidak ada swalayan. Di beberapa gunung, ada saja sih penjual makanan dan minuman, tapi harganya mahal dan kadang rasanya amburadul! Ini pengalaman teman saya, beli nasi uduk di atas gunung dengan harga mahal dan ketika dimakan, nasinya nggak mateng, haha nasib! Lagipula, kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi. Beberapa kasus meninggalnya pendaki di gunung, karena mereka terpisah dari rombongan dan tidak bawa bekal sendiri. Biasanya perempuan nih, yang memaksakan naik gunung, ketika nggak kuat, minta ranselnya dibawakan oleh teman laki-laki. Padahal segala perbekalan ada di dalam ransel. Kalau dia terpisah dari rombongan, trus gimana? Makan daun? Iya kalo doyan dan tahu daun apa aja yang bisa dimakan, kalo nggak?

Kiat ketiga : Pengemasan barang yang rapi

Rapi disini bukan sekedar tidak acak-acakan, tapi juga disusun sesuai waktu pemakaian dan dijaga agar tidak basah, jika kehujanan di perjalanan. Barang-barang seperti makanan siap santap (coklat, roti, madu, dsb), air minum, jas hujan, senter, tisu, simpan di bagian ransel yang mudah digapai. Nggak lucu kan kalo dalam keadaan kehausan atau hujan, kita malah bongkar ransel nyari air minum atau jas hujan? Tenda, baju ganti, kantung tidur, simpan di bagian paling dalam. Matras sebagai frame ransel. Kompor dan makanan untuk dimasak, bisa disimpan di tengah ransel. Oh iya, pastikan semuanya terbungkus plastik agar tidak basah.

Kiat keempat : Be happy!

Jika semuanya sudah terencana dan disiapkan dengan baik, yakinkan diri bahwa kita akan melakukan pendakian dengan hati senang. Mendaki itu berarti memasrahkan diri pada alam. Hujan, panas, tidak boleh mengeluh. Siapa suruh mendaki? Kalau termasuk orang yang grumpy, mending batalkan niat untuk mendaki. Kasihan sama teman yang mendaki juga. Mendaki itu membutuhkan energi yang nggak sedikit. Jangan sampai sudah capek badan, lelah hati pula.

Kiat kelima : Bawa pulang sampah

Hello, gunung bukan tempat sampah, loh! Sampah yang kita bawa ke gunung, HARUS kita bawa pulang lagi. Gregetan deh, sama orang yang buang sampah sembarangan dimanapun termasuk di gunung. Orang yang meninggalkan sampah di gunung dengan sengaja, bisa saya pastikan mereka naik gunung bukan karena mencintai alam, tapi hanya mau selfie dan dipajang di medsos. Hayo ngaku! Huh!

Nah, semoga kiat-kiat di atas bermanfaat ya. Sejauh ini, menurut saya mendaki itu sangat sangat menyenangkan. Yuk, kapan mendaki bareng! *wink*

Monday, December 14, 2015

Sabtu Bersama Bapak

Oh, well today is like a lucky day of mine. Sendirian di kantor hingga hampir jam sembilan itu menyebalkan di satu sisi tapi mengasikkan di sisi lain. Saya bisa foto-foto novel yang baru saya beli tanpa ada yang menyaksikan apalagi komentar. Sebagai seorang introvert, sendiri ketika melakukan hal yang agak absurd itu, asik. Anyway, why is it so hard to upload pictures in blogspot lately?

Jadi, sekitar dua pekan yang lalu, akhirnya saya nggak tahan lagi berpuasa beli novel. Berseluncur di dunia maya dan menemukan toko buku online yang ngasih diskon yang menggiurkan. Toko buku yang berjasa menyelamatkan saya dari keadaan yang lebih bokek itu adalah www.bukabuku.com.

Beberapa pekan ini, saya sering membaca blog seorang penulis di www.suamigila.com. Dari blog itu juga, saya jadi tertarik untuk membeli sebuah novel yang kemudian berbuah pembelian novel lainnya. *nangis depan laptop sambil liat isi dompet*

Novel itu berjudul, "Sabtu Bersama Bapak". Dari awal saya baca promosi novel ini di blog penulisnya, saya langsung tertarik. Di bagian belakang, terdapat kutipan dari isi novel. Percakapan seorang ayah dengan dua anak laki-lakinya. Hangat namun berwibawa.

Novel ini bercerita tentang Ibu Itje yang berjuang bersama kedua anaknya untuk menghadapi dunia dengan "didampingi" sang bapak melalui pesan-pesan keren darinya. Pesan-pesan dari bapak ini telah dipersiapkan agar bapak tetap bisa mendampingi anak-anaknya, Satya dan Cakra menghadapi dunia dan menjadi orang-orang yang sukses meski tak lagi bersama. Begitu pun, bapak tetap membersamai mamah alias Bu Itje. Pesan-pesan bapak selalu ditonton bersama pada hari Sabtu. Jadilah hari Sabtu adalah hari yang paling dinantikan di antara deretan hari lain.

Di kata sambutannya, Adhitya Mulya sang penulis, mengatakan bahwa sejauh ini, "Sabtu Bersama Bapak" adalah novel yang paling dekat dengan hatinya. Dalam novel ini, bapak memberi pesan-pesan sesuai fase kehidupan Satya dan Cakra. Ada pesan bapak untuk Satya dan Cakra ketika mereka masih kecil, remaja, dewasa, menjelang pernikahan hingga how to be a good husband and father. Tokoh bapak ini didesain sebagai well-planned person. Beberapa peristiwa yang diceritakan oleh penulis, pernah saya baca juga di blognya. Jadi, beberapa kejadian, mungkin (mungkin loh ya..) berdasarkan kisah pribadi penulisnya.

Gaya bahasa novel ini ringan dan hangat. Tidak ada kata-kata yang ketika membacanya saya harus mengernyitkan dahi atau membuka aplikasi KBBI atau dictionary. Semuanya dapat dengan mudah dicerna dan mengena di hati.

Must read book bukan hanya untuk para lelaki yang berstatus suami dan ayah atau one day akan jadi suami dan ayah tapi juga buat para perempuan. Toh, menjadi seorang yang well-planned kan tanggung jawab semua orang. Dalam novel ini, bapak banyak berpesan bagaimana merencanakan kehidupan agar tidak menyusahkan orang lain.

Saya suka sekali dengan kalimat, "Ketika kecil jangan sampai menyusahkan orang tua dan ketika tua jangan menyusahkan anak".

Friday, December 11, 2015

No Title, Just Grumbling

Why do people (most of), always makes their very own perception that single tribe is the most pathetic creature in the universe? Also have their understanding that the tribe needs to be helped of finding their soulmates, so they act like they care and give any names that available to be. While in fact, the tribe doesn't really need to, if they only pretend to care. If they only find something to talk about. If they only think that it will make us happy (but it won't).

Thank you to those who really care among the other who pretend to be.

Okay, that's it! 

Thursday, December 10, 2015

Sometimes, It's Just Not Enough

The sun shines brightly today, since the very morning when I walked to work. I can't even widely open my eyes. It's too bright. Actually, it wasn't too bright. I just wasn't ready for the usual normal sunshine. I was still expecting sun shines in a cloudy sky. I mean, it's supposed to be still in rainy season, isn't it? I still need extra time to enjoy walking in the rain and memorize things I did when I was a kid. Walking, running, playing in the rain. What a nice moments to remember and always playing around my mind every time rain comes. For some people, rain speaks about romantic, sad memories in the same time. For me, rain speaks about LIFE! 

I wasn't ready to face that rainy season is over today. No! It has to be still in rainy time. It's still December. December has to be wet of rain. Never miss rain until this year which is poor of rain.

Something whispered in my ear that I'm not ready to let rain go, because I haven't spent my time for enough walking, running, or playing in the rain. Not enough for being wet and drown in the memories of rain.

Therefore, sometimes we are not ready to let some people go on their own life, because we haven't feel it's enough to spend precious time or emotion with them. When that happen, the only thing we can do is letting go. Just let go and we'll feel the best freedom. Seriously. I did.

Monday, December 7, 2015

Another Simple Little Happiness

This morning,
I said hello to some neighbor while walking to work
Then an unknown woman said me hello while I was waiting for a bus
I saw a father ride his son and daughter to school
I enjoyed seeing both children kissed their father's hand
Then I smiled
Oh, butterflies complete my perfect morning time
Knowing my life is full of beautiful random things
No reason to be unhappy
Alhamdulillah

Friday, December 4, 2015

Lagi Lagi...

Hari ini, sama seperti beberapa hari belakangan, saya sedang sepi job di kantor dan berbuatlah saya secara lebih random. Satu hal yang statis adalah dimulai dengan membuka laptop. Tanpa berpikir panjang, saya mengetuk tab whatsapp dan telegram di web. Sejenak kemudian, mulailah grup teman-teman senasib aktif. Ini adalah grup yang hanya aktif di jam kerja karena sebagian besar anggotanya hanya mengaktifkan telegram di kantor, menggunakan PC kantor, dan jaringan internet kantor. Maafkan kami. lol.

Perbincangan random terjadi, mulai dari kabar masing-masing, apa yang sedang dikerjakan, hingga tukin alias tunjangan kinerja. Berapa besarannya dan lain sebagainya. Teman saya malah sudah menghitung berapa yang akan kami terima nanti. Bayangkan betapa galaunya kami. Gajian saja belum terima, sudah sibuk memikirkan tukin. *sigh*

Sejak kemarin, saya lebih suka menguasai duduk di kursi dan meja rapat yang kurang berdaya guna selain digunakan untuk makan dan nonton TV. Well, nice try! Little isolated but cozy for me. Siang hari, datanglah seorang dosen yang juga ditugaskan di unit ini. Wajah pak dosen seperti biasa, ekspresinya saya duga karena sinar matahari siang di luar yang kelewat terik. Maklumlah, ini Serang, bukan Tokyo. Beliau meletakkan ranselnya di meja tepat depan saya dan melangkah ke dalam untuk menyapa teman-teman yang lain. Tidak lama, kembali lagi mengambil sesuatu di ranselnya dan menggumam, "Waduh! Baru tanggal segini, uang udah habis!"
Saya spontan nyengir dan berkomentar, "Nggak papa, Pak. Kalau habis kan nanti datang lagi."
Pak dosen nyengir, lalu saya komentar lagi, "Uang kan emang buat dihabisin, Pak." Sambil nyengir lebih lebar.
Pak dosen bilang, "Emangnya kumis, dicukur tumbuh lagi?" Saya ngakak kali ini.

Yes, lagi-lagi uang! Jadi ingat perbincangan saya dengan seorang teman. Dalam Islam, rizki dan uang itu tidak berada dalam chapter yang sama, karena rizki itu pada hakikatnya bukan sekedar uang. Kalau ada orang tua dengan anak-anak yang semuanya patuh, sehat, dan cerdas, maka itu lebih dari sekedar uang sekian juta rupiah yang dimiliki oleh pasangan lain yang bertahun menanti anak atau yang anggota keluarganya diberi ujian sakit.

Buat saya sih, setiap hari ada saja hal yang dengan mudahnya bisa disyukuri. Meski drama dalam kehidupan seakan tidak pernah berhenti dipertontonkan namun sepanjang cerita dan di akhirnya nanti akan selalu ada hikmah yang bisa dipetik.

#mendung syahdu dan geluduk

Thursday, December 3, 2015

Opang vs Go Jek

Dua malam yang lalu saya menonton acara komedi yang dikemas serupa dengan acara serius. Indonesia Lawak Klub (ILK). Setting ruangan dan moderator serta para komentator pun dibuat mirip-mirip dengan acara serius panutannya, Indonesia Lawyers Club (ILC). Saya juga tidak terlalu sering nonton acara ini sebenarnya tapi malam itu, tema yang diangkat adalah Ojek Pangkalan versus Go Jek.

Ojek Pangkalan adalah ojek yang mungkin hadir tidak lama setelah kemerdekaan Negara Republik Indonesia. Maksud saya, sudah lama ada, seingat saya sih, dari kecil saya sudah familiar dengan yang namanya ojek pangkalan. Walau memang akhir-akhir ini, pengojek yang mangkal semakin banyak karena sepertinya pekerjaan sebagai pengojek ini menjadi solusi bagi beberapa orang yang butuh tambahan penghasilan atau bahkan mereka yang belum punya pekerjaan tetap. Dulu, orang tua murid di sekolah tempat saya mengajar, lebih dari separuhnya bekerja atau mencari "sampingan" sebagai pengojek. 

Beberapa waktu belakangan ini, sekitar Indonesia dihebohkan dengan hadirnya ojek yang bisa dipesan melalui aplikasi. Nama layanan ojek ini adalah Go Jek. Didirikan tahun 2011 oleh dua pemuda keren, Nadiem Makarim dan Michaelangelo Moran. Sepanjang pengetahuan saya, selain mengantar manusia, pengemudi Go Jek bisa juga diminta untuk mengantarkan barang, dokumen serta membelikan barang dari suatu tempat jika dibutuhkan.

Bagi saya, Go Jek ini sungguh keren karena meningkatkan prestise dan pendapatan para pengemudinya. Terbukti, menurut para pengemudinya dan seorang pengemudi yang hadir di acara itu, penghasilan mereka lebih besar berkali-kali dibanding ojek pangkalan atau opang. Selain itu, pengemudi Go Jek juga mengaku bisa belajar banyak hal. Mulai dari mengoperasikan aplikasi, memilih dan membeli barang yang sebelumnya mungkin tidak terpikir untuk membeli hingga mengantarkan dokumen lalu bertemu orang-orang penting yang menantikan dokumennya. Eksklusif, bukan? Jadi, bukan hanya meningkat secara finansial tapi juga secara intelektual. Toh, rejeki bukan sekedar berduit, kan?

Lalu, kenapa sih para opang banyak yang tidak mau beralih menjadi pengemudi Go Jek? Mengingat beberapa keuntungan yang didapat dengan bergabung menjadi pengemudi Go Jek. Kurang lebih begini kesaksian seorang pengemudi ojek pangkalan yang hadir di acara itu ketika ditanya kenapa tidak tertarik menjadi pengemudi Go Jek, "Kalo Go Jek itu kan harus mau jemput-jemput pelanggan yang jauh-jauh tempatnya. Kalo mangkal kan tinggal nunggu giliran, nggak usah kemana-mana bisa sambil baca koran, ngobrol." #gubrak

Well, buat saya semua orang bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri. Namun, kemajuan bangsa ini, menjadi tanggung jawab kita semua, bukan? Jika ada orang yang untuk kemajuan dirinya sendiri saja mereka enggan bergerak, bagaimana mereka bisa memajukan bangsa ini? Jadi pengen pasang quotenya Bill Gates, "If you born poor, it's not your mistake. But, if you die poor, it's your mistake."


Wednesday, December 2, 2015

Hubungan Biasa tapi Istimewa

Saya masih ingat, sekitar tahun 90an, angkutan kota atau biasa disingkat angkot di kota saya, memiliki dua orang kru. Kedua kru ini adalah pengemudi dan asistennya. Pada masa itu, saya sering memperhatikan kedua kru ini ketika saya menumpang angkot. Kalau istilah jaman sekarang, kedua kru ini selalu saja memiliki chemistry yang kuat. Pun sekarang, ketika moda transportasi saya pindah ke bis antar kota antar propinsi atau bis AKAP. Chemistry diantara kedua kru bis yang saya tumpangi juga selalu kuat. Hubungan antara kedua kru angkutan ini menarik bagi saya bahkan sejak dulu. 

Sering kali, pengemudi bicara ke asistennya tentang sesuatu secara sekelebat, tidak jelas terdengar atau bahkan sama sekali tidak terdengar, asistennya langsung tanggap bereaksi. Pernah di satu waktu, pengemudi bicara sesuatu entah apa, lalu sang asisten dengan sigap langsung membongkar sesuatu di balik kursi dan bilang, "Habis, ga ada lagi." Entah apa yang ditanyakan pengemudi. Tadi pagi dan ini yang paling sering saya lihat, pengemudi bicara entah apa, lalu asistennya menyodorkan sejumlah uang. Bisa untuk bayar tol, bisa juga untuk bayar tol sekalian ditukar menjadi uang receh sebagai kembalian untuk penumpang. Chemistry ini kelihatan sangat kuat terutama kalau pengemudi dan asisten cenderung pendiam. Ketika asistennya turun dari bis untuk menarik penumpang, pengemudi tahu persis kapan harus menjalankan kendaraannya meski tanpa aba-aba. Walau buru-buru, tapi asistennya tidak pernah ketinggalan, hehe. 

Oh ya, saya pernah melihat juga ketika hubungan ini merenggang. Entah apa masalahnya, sepanjang perjalanan pengemudi terlihat kurang senang pada asistennya. Pengemudi terlihat kesal dan berkali-kali bicara dengan nada dan kata-kata kasar pada asisten. Hasilnya, asisten juga jadi terlihat salah tingkah. Asisten lebih suka berdiam dekat pintu belakang dan hanya sesekali ke depan. 

Mereka tentu merasa saling membutuhkan. Pengemudi tidak mungkin mengambil ongkos dari penumpang atau turun dari bis untuk mengajak penumpang naik bis karena harus mengemudi. Begitu juga sebaliknya, asisten tidak mungkin mengajak penumpang naik bis serta mengambil ongkos kalau pengemudi mogok.

Hubungan ini biasa tapi sebenarnya istimewa. Chemistry yang terbangun di antara kedua profesi ini bagi saya istimewa. Suka sekali saya mengamatinya. This is one of the things that made my day.

Morning!

Monday, November 30, 2015

Lumrah tapi (Ternyata) Salah

Anak kecil jaman sekarang beda ya, dengan anak kecil jaman kita kecil dulu? Anak sekarang itu lebih pecicilan dan cerewet. Ciri-ciri anak sehat katanya emang gitu. Senang bergerak dan melakukan hal-hal yang menarik buatnya. Ya lah, semua anak kan memang melihat dunia sebagai tempat mereka bermain. The world is a playground and everytime is also play time. Some of us as an adult also think the same way, do we? Hayo ngaku! Cuma bedanya, kita sebagai orang dewasa sudah terbentuk oleh norma-norma, pendidikan, persepsi, dan tanggung jawab sehingga keinginan untuk bermain itu tentu berkurang, sedikit demi sedikit. Namun jika keinginan itu "disentil" sedikit, maka jangan ditanya!

Nah, dalam proses bermain itu, pasti ada kan saatnya si anak udah dibilangin berkali-kali masih ngeyel, trus jatuh, terluka, nangis. Lalu biasanya (dari pengalaman dan pengamatan saya), orang tua di sekitarnya bereaksi kesal dan balik marah ke si anak itu. Saya ingat ketika di sekolah saya dulu, ada teman guru yang ngajak anaknya ke sekolah. Si anak ini perempuan, usia 2 tahunan, aktif seperti anak-anak lain seumurnya lah. Tiba saat ketika anaknya jatuh, terluka dan nangis. Ibunya sibuk marahin anaknya sambil teriak-teriak. Di saat yang sama, kami semua menoleh ke arah si ibu. Ada apakah? Kenapa heboh sangat?

Di saat yang sama, teman saya yang lain yang ada di dekatnya, berbalik menegur si ibu.
"Anaknya udah sakit itu badannya karena jatuh. Jangan dibikin sakit juga hatinya karena dimarahi." Bicaranya santai, tapi dalem.

It's a slap moment. Selama ini, saya pikir reaksi seperti itu adalah hal yang lumrah. Padahal sungguh hal itu menyakiti perasaan si anak. Dia mungkin suatu hari akan lupa dan mengabaikan "marahnya" si ibu tapi bentakan akan menetap di alam bawah sadarnya. Efeknya, bisa jadi dia malah jadi anak yang ignorance dan tidak bisa diingatkan kecuali dengan cara dibentak. Teman saya yang menegur tadi itu memang tidak pernah saya lihat menegur anaknya dengan cara yang keras, padahal saya lumayan sering berinteraksi dengan keluarganya. Walhasil, dua anaknya berperangai halus dan mudah diarahkan. Ini kisah nyata.

Saya punya empat keponakan yang super duper juga dan saya ingat terus kata-kata teman saya ini. Ketika para krucils berkunjung ke rumah yangtinya yang adalah ibu saya, saya berusaha untuk tidak menegur dengan keras apalagi ketika mereka sudah tersakiti sebelumnya meski akibat perbuatan mereka sendiri. Badan boleh sakit tapi toh akan segera pulih.

Friday, November 27, 2015

Wake Up Call

Cuma mau bilang gini...

“Kalau memang terlihat rumit, lupakanlah. Itu jelas bukan cinta sejati kita. 

Cinta sejati selalu sederhana. Pengorbanan yang sederhana, kesetiaan yang tak menuntut apapun, dan keindahan yang apa adanya.” 

Bukan saya sih, yang bilang. Itu quotenya Bang Tere di novel "Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin" and I couldn't agree more.

That's it... 




Thursday, November 26, 2015

Hujan

Siang ini Serang tidak sepanas biasanya. Sudah mulai masuk musim hujan mungkin. Mendung.

Kata teman saya, "Sudah bisa nyanyi November Rain ya?"
Saya bilang, "Boleh aja, tapi disini rainnya masih malu-malu. Mungkin disini nanti lagunya ganti judul dulu jadi December Rain."

Sejak kecil saya selalu suka hujan. Sering sembunyi-sembunyi main hujan. Pulang ke rumah mindik-mindik, kuatir dimarahi karena hujan-hujanan. Suka juga ketika pulang sekolah dan hari hujan. Sengaja lewat jalan terjauh untuk sampai ke rumah, 'melupakan' payung di dalam tas yang telah dengan susah payah dibelikan ibu. Lain lagi kalau berangkat sekolah dengan bersepeda. Itu lebih menyenangkan lagi. Nggak mungkin kan bersepeda sambil memegang payung? 
Bersenda gurau dengan teman-teman yang juga 'melupakan' jemputan becaknya. Ikut berjalan kaki hingga di tengah perjalanan baru naik becak dengan pakaian, sepatu, dan tas basah kuyup. Entah seperti apa rupa buku-buku di dalam tas. Tertawa-tawa sambil saling meledek. Masih enggan pulang karena betah bermain hujan.

Bagi saya, main hujan di waktu kecil itu menyenangkan karena ketika sampai rumah, sudah tersedia secangkir minuman hangat. Bisa susu coklat atau teh manis buatan ibu. Jika pulang sekolah hujan dan itu hari Sabtu, maka yang terjadi justru sebaliknya. Saya memilih tidak buru-buru pulang. Menunggu bapak menjemput di depan sekolah sambil membawa payung. Walau tidak kehujanan, di rumah tetap menanti secangkir minuman hangat.

Akhir-akhir ini, hujan semakin jarang datang. Kata orang, alam sudah tidak bersahabat lagi dengan manusia. Mungkin yang terjadi adalah sebaliknya. Manusia yang semakin banyak jumlahnya, semakin hobi pula menyulut kerusuhan dengan alam.

Oh ya, ini kata teman saya yang lain. Hujan adalah satu persen kenangan dan sisanya yang 99% adalah mi rebus ditambah telur dan cabe rawit.

Cheers!

Wednesday, October 28, 2015

Simple Happiness

Dalam hidup, memang sering kali ada hal-hal yang tidak terduga terjadi. Bukan hal besar biasanya, tidak langsung mengubah hidup kita yang tadinya miskin papa menyedihkan menjadi kaya raya bergelimang harta atau sebaliknya. Hal-hal spektakuler begitu, bisa saja terjadi tentu, tapi dalam kehidupan nyata, berlaku sunnatullah, bahwa jika ingin sukses, hendaklah berusaha dan berdoa sungguh-sungguh. Berusaha saja tidak akan pernah cukup begitu pun, berdoa tanpa berusaha, hanya dilakukan oleh para pemimpi. Merasa senang hanya ketika tertidur dan terbangun dengan rasa hampa yang teramat. Berharap kembali tidur dan memimpikan hal yang sama. Ketika tidur, malah mimpi dikejar-kejar monster hendak dimangsa.

Simple things that made my day happened today. I woke up like usual and did my daily job at home before go to work. I’m not sure what delayed me, but I went to work later than I usually do. Being in a hurry isn’t fine actually. Trust me!

Hingga sebuah kejadian menarik terjadi. Saya bertemu seorang teman lama yang kini juga menjadi dosen di kampus yang sama dengan saya bekerja. Kami mengobrol seru (that’s already made my day) walaupun dengan posisi berdiri karena nggak kebagian tempat duduk. Lalu, pak dosen mentraktir saya ongkos naik bis sambil bercanda bilang, akan ditagihkan ke kepala UPT tempat saya bekerja. Lalu berbagilah kami cerita ringan menyenangkan lainnya. Sampai kantor, disambung dengan kabar gembira (walau belum pasti juga sih) dari seorang teman melalui sebuah pesan telegram, bahwa kami akan menerima SK dalam waktu dekat. Semoga ini sungguhan terjadi. Hal menyenangkan lainnya terjadi ketika menjelang dhuhur ada teman membawakan kue bolu gulung bertabur keju yang nikmat. Adzan dhuhur berkumandang dan ketika saya melangkahkan kaki ke dalam masjid, ada pemandangan area shalat untuk muslimah diperluas dan juga lebih terang.
Oh, hidup itu indah bukan?

Friday, October 23, 2015

NaNoWriMo

Based on the dictionary.com, consistency means
  • a degree of density, firmness, viscosity, etc.:
  • steadfast adherence to the same principles, course, form, etc.:
  • agreement, harmony, or compatibility, especially correspondence or uniformity among the parts of a complex thing:
  • the condition of cohering or holding together and retaining form; solidity or firmness.

Let me tell you, consistency is a thing that I’m learning of, working in, and it never yet finished. Many things happen with which in the end, I know that the main problem is consistency. My consistency is worse than bad, sad to say. I can be very excited for a thing and in short term the condition can be upside down. I could feel nothing about the things I was excited about. Stop doing it and just don’t feel the emotion.

One thing I really excited about and still have the emotion until now, is writing. I have something for having novel, but my consistency doesn’t help me at all. How can I have a novel if I never write it?
One day, my friend introduced me to NaNoWriMo. What is it? It’s an independent organization for writer or writer wannabe all over the world to help them writing consistently. In November, they have a novel writing competition. What makes it more interesting is that the languages used by the writer consist of many different languages. Everyone can participate in the competition and also can win it. How can? Yes, absolutely! Actually, all writers here is compete against themselves. Compete to defeat their lack of consistency, experience, and many untold reasons.

Anyway, I have been part of NaNoWriMo since three years ago and not even a word written. What a shame!

This year, nearly a week after, I've decided to join the competition and hopefully I can win it. Wish me luck!

Wednesday, October 21, 2015

Mendaki, Menemukan Jati Diri


Saya menyukai kegiatan yang menguras energi (energi ya, bukan emosi) dan menantang. Kegiatan yang juga sekaligus detoksifikasi diri saya dari kejenuhan maupun dalam arti sesungguhnya, mengeluarkan racun-racun dalam tubuh lewat keringat. Salah satu kegiatan yang saya suka adalah mendaki gunung, di samping bersepeda dan lari pagi.

Selama ini, ketika membaca tulisan orang tentang pengalaman mereka mendaki gunung, saya terkesima dengan betapa hebat perjuangan mereka untuk menuju puncak. Ketika saya melakukan perjalanan itu sendiri, saya memahami bahwa puncak bukanlah segalanya. Memang rasa bahagia ketika berhasil menggapai puncak adalah perasaan yang tidak terukur. Banyak sekali pengorbanan yang harus dilalui di samping indahnya pemandangan yang disuguhkan oleh-Nya. Menggendong tas carrier berisi segala macam keperluan, melawan rasa lelah, menyambung napas yang tersengal, menghadapi karakter teman sesama pendaki yang beraneka rupa, mengatasi udara dingin apalagi ketika hujan, sungguh bukan hal yang mudah. Ketika dengan segala tantangan itu, lalu kita memutuskan tetap bertahan hingga mencapai puncak, maka sesungguhnya yang berhasil ditaklukkan adalah diri sendiri. Pun, ketika tidak lagi melanjutkan pendakian dan memutuskan kembali turun, bukan berarti gagal. Bisa jadi itu adalah upaya mengalahkan ego diri. Ego bahwa setiap pendakian harus diwarnai dengan menikmati pemandangan di puncak.

Seperti kata hampir semua teman saya, dalam setiap pendakian, bukan puncak yang ditaklukkan. Pokok pelajaran dalam pendakian atau perjalanan yang kita lakukan adalah bagaimana menemukan diri sendiri. Jika dalam keseharian, kita sering lupa melihat ke dalam diri kita, maka alam melalui perjalanan yang akan membantu menemukan jati diri kita. Maka, lakukanlah pendakian untuk mengukur diri, bukan hanya kekuatan fisik, namun juga kekuatan batin.

Monday, October 19, 2015

Peduli itu...

Sebagai jomblo senior dan berpengalaman *gaya*, saya tentu sudah sering menanggapi pertanyaan :
  1. “Udah nikah belum?” Ketika saya jawab, “Belum”, maka percakapan menyebalkan berlanjut ke
  2. “Kapan nikah?” atau…
  3. “Kok belum nikah?” bisa juga…
  4. “Pilih-pilih sih ya?”
  5. dan sebagainya.
Serta berbagai bentuk pertanyaan senada yang memuakkan pada awalnya tapi semakin lama mendengarnya, jadi terasa bagai angin lalu. Ya lah, bagaimana pun juga saya nggak akan pernah bisa mengendalikan apa yang akan dikeluarkan orang dari mulutnya. Istilah mulutmu harimaumu tidak berlaku untuk semua orang. They don’t even know that it exists. Semua bentuk pertanyaan di atas sebenernya sih sama-sama menyebalkan tapi dengan kadar yang berbeda.

Nah, pertanyaan yang terakhir biasanya saya jawab, “Apa yang mau dipilih?” dan percakapan itu berlanjut dengan tawa kami. Iya, menertawakan saya tentu. Padahal dalam hati saya, masak iya saya nggak pilih-pilih, beli bakwan yang sekali lahap habis saja, saya memilih yang masih hangat, ukurannya cukup besar, dan tidak terlalu kering, misalnya. Tentu untuk pernikahan yang diharapkan sekali seumur hidup, saya harus juga punya kriteria, walau belum tentu pria yang memenuhi kriteria saya, berminat dengan saya. *tertawa miris* *sigh*

Dari berbagai jenis manusia yang saya temui dan menanyakan pertanyaan “neraka” itu (lebay deh), saya bisa mengetahui apakah orang ini benar-benar peduli atau sekedar iseng bertanya. Malangnya, sebagian besar orang yang saya temui menanyakan pertanyaan itu sekedar iseng atau untuk bahkan menjadikan status saya bahan untuk tertawaan. Ada juga orang yang benar-benar peduli. Mereka ini justru tidak banyak bertanya. Bahkan, walau kadang mereka sangat ingin mengetahui, pertanyaan langsung tidak akan terlontar. Mereka memilih untuk menyelidik sendiri. Tujuannya tentu saja untuk menjaga perasaan saya agar tidak tersinggung atau merasa canggung. Jika saya bertemu orang-orang yang benar-benar peduli seperti ini, maka saya pun akan berusaha menjaga perasaan mereka. Otomatis saja terjadi.

Bagaimana dengan mereka yang banyak bertanya padahal sesungguhnya tidak peduli? Pada umumnya saya tetap akan bersikap baik. Lupakan saja tawa mereka karena “perbedaan prinsip” kami, yang penting saya berusaha tidak melakukan hal yang sama dengan mereka sehingga menempatkan saya menjadi sama dengan mereka. It’s fine if they think different with me. They don’t live my life and I don’t live theirs.

Thursday, October 15, 2015

...dan begitulah akhirnya.

Semua orang tidak akan tahu akhir jalan hidupnya. Jangankan akhir hidup, apa saja yang akan terjadi hari ini, peristiwa satu jam yang akan datang, atau sedetik kemudian, siapa yang tahu? Kecuali jika kita adalah cenayang, bocah indigo, atau semacamnya. Ah, jika Anda termasuk bagian dari golongan manusia itu, maka Anda perlu mengunjungi peruqyah syar'i terdekat untuk diruqyah. *seriously*

Sekali lagi diingatkan bahwa hidup ini akan berakhir. Giliran semakin dekat, tidak pernah malah menjauh. Sebaik, sehebat apapun, setiap orang akan menghadapi akhir hidupnya. Pun begitu, tidak pernah bijak jika hanya menanti datangnya tanpa berbuat apa-apa. Nikmatilah hidup dengan bijak karena suatu hari, ketika matahari masih bersinar cerah, langit tergelar indah, dan angin semilir mengusir gerah, itu semua tidak berarti, karena sang akhir menghampiri.

Pada akhirnya, ini adalah tentang siapa kita ketika jiwa masih mengisi raga, bukan hanya bagi diri sendiri, tapi orang lain, dan Sang Maha Segala. Bahwa hidup bukan hanya tentang diri sendiri, tapi bagaimana menghargai dan menyayangi orang lain karena entah siapa yang akan lebih dulu mendekati akhir.

"Tenang saja, Bapak orang baik insya Allah." 
...dan begitulah akhirnya. *glassy eyes*

Tuesday, October 13, 2015

Oh man, I Missed the Bus!

Yesterday morning, while I was walking to the bus stop. Well, actually it's not bus stop. It's just a place where I usually stop buses. There are no real bus stop here, anyway. People can stop almost any bus they want anywhere. When I was walking fast while talking to myself like usual, then I saw a bus passed by. "Oh, man, I missed the bus!" I again talked to myself. It hurts, you know. It's not nice at all when I had to make another wait for unpredictable time. It meant I have to stand beside the dusty smokey road to wait for another available bus. One, two, five minutes, waited while paying attention to people pass by is quite nice actually if I wasn't in a hurry, but I have to be in the office immediately if I don't want to be late. This is my conscience every morning, five days a week. Then, the miracle happened (I know that it sometimes happens) to me. I saw a bus! It's not common bus! It's a bus to a certain city, a bus which is known for its speed! I froze for a second then realize, "Hey, it can take me faster than any other bus, yeah!" And as predicted, it took me so very fast. I arrived ten minutes early than the punctual time. Wonderful!

So, sometimes, we just so stressful in whining something we miss in life. It could be a job, business, someone we thought he/she is the one but then he/she marry to another person but us. We were so busy to think that, why I didn't do this, that, and many other regrets, while actually, long after, there are better scenario served for us. All the regretful things, sadness tears, can be our lesson for the next step of life. Remember that we live not only for today or yesterday. The most important thing is, we live for a better future.

Sunday, October 11, 2015

Nice Friends, Nice Chat, Wonderful Life

Pagi ini, setelah menyelesaikan tugas Cinderella saya membersihkan rumah, barulah saya aktifkan telepon genggam. Pada multichat BBM, terpampang foto seorang teman kuliah yang baru saja memasuki babak baru kehidupannya sebagai seorang abdi negara. Terlihat ceria. Senang melihatnya.
Ternyata, selama handphone saya "tertidur", sudah tercipta perbincangan antara dua orang teman saya, Kriuk! dan Coldy. Lalu selama sekitar satu jam, terjadilah multichat yang sebenarnya tidak bermutu namun menyenangkan itu. Kami bertukar kabar, bertukar pikiran, bertukar tips, serta bertukar lelucon. Hingga sampailah pada percakapan yang menyangkut status kami sebagai jombloers. Inilah bagian yang paling seru, mengingat di antara teman-teman kampus yang satu aktivitas di DKM, tinggal kami bertigalah yang masih melajang. Bukan betah, tapi addicted. Ini versi saya. Entah versi kedua teman saya itu. Bersama teman yang asyik, perbincangan yang sebenarnya tragis, menjadi ceria penuh tawa.


A friend in need is a friend indeed. 

Friday, October 9, 2015

Menghirup Dedak

Malam kemarin, di grup whatsapp teman kuliah saya, seorang teman yang masih aktif di kampus karena menjadi salah satu tenaga pengajar disana, memposting gambar seorang pria yang pernah mendidik kami semua di kampus. Bapak dosen kami yang ganteng dan suka menyelipkan celetukan ala stand up comedy (pendengar tertawa spontan, yang melucu tetap berwajah datar) ketika memberi kuliah di kelas. Pak dosen kami ini sekarang sudah bergelar guru besar. Selamat ya, Pak! Dalam foto itu, terlihat pak dosen sedang menghadiri sebuah acara bincang-bincang di salah satu stasiun televisi swasta. Beliau menjadi pembicara ahli tentang asap dan kebakaran hutan di Pulau Sumatra dan Kalimantan. Saya tidak akan membahas apa isi acara tersebut, karena saya pun tidak menyaksikannya. Perbincangan dengan topik serupa kemudian berpindah ke grup kami. Berbagai nada nyinyir dan kecewa terhadap tindakan presiden pun terlontar. Ucapan pak presiden yang meremehkan masalah ini membuat kami meradang, padahal sebagian besar dari kami tidak tinggal di wilayah berasap itu. Sungguh, kami ini orang kehutanan atau setidaknya pernah kuliah di Fakultas Kehutanan terbaik di nusantara. Ucapan presiden bahwa masalah asap ini gampang diatasi, sungguh membuat kami sedih. Presiden macam apa yang tidak hati-hati bicara dan bicara tidak dengan hati?

Seorang kawan di Jambi mengeluh bahwa sudah dalam hitungan bulan, Jambi diselimuti kabut asap yang menyesakkan. Teman saya ini bilang, "Napas serasa menghirup dedak, upil penuh abu, mata belek debu, tenggorokan serasa perlu disapu." Tanpa perlu merasakan langsung pun, deskripsi seperti itu sudah membuat sesak. Alhamdulillah, Jambi sudah bisa sedikit bernapas lega sekarang, berkat hujan yang diturunkan Allah dalam beberapa hari ini. Selalu, manusia yang membuat kerusakan, Dia yang menyelesaikan. Lain Jambi, lain pula Riau. Teman lain yang tinggal di Riau, menginfokan bahwa di pagi hari, visibilitas hanya sekitar 10-20 meter. Innalillahi...

Ada ajakan teman di Kalimantan Selatan untuk "berlibur" di Sumatra dan Kalimantan selama dua hari untuk "menikmati" asap. Saya langsung berkomentar, "Jangankan dua hari, ada tetangga bakar sampah dan asapnya masuk rumah aja rasanya udah sebel." Padahal durasi asap dari bakaran sampah tetangga, nggak sampai satu jam, kan?

Semoga hujan semakin sering turun dan menghapus asap yang menyakiti saudara-saudara kami. Mudah-mudahan pemerintah mampu bertindak tegas terhadap para pembakar hutan, sehingga peristiwa kebakaran hutan yang merugikan dan memalukan ini tidak lagi terjadi di kemudian hari.

Thursday, October 8, 2015

Nothing lasts forever

Nothing lasts forever. Everything is change and the only one that is eternal is the change itself.

Entah quote siapakah itu. Tiba-tiba saja otak saya yang sering kali merandom, teringat akan quote itu. Sejatinya, sungguh segala hal itu akan berubah. Justru bagi orang-orang yang anti perubahan akan terlindas oleh waktu yang senantiasa mengubah segala hal menjadi sungguh luar biasa atau sebaliknya. Terkadang, perubahan itu sendiri tidak serta merta terasa. Misalnya, pohon di pinggir jalan yang ditebang karena sudah terlalu besar dan membahayakan. Adanya tidak pernah disyukuri namun ketika hilang, barulah banyak orang menyayangkan ketidakhadirannya.

Ada lagi, dulu jalan utama di kota saya tidak memiliki pagar pembatas antar lalu lintas yang berbeda arah. Setiap kendaraan bebas memutar atau berbelok sesuka hati. Begitu pun para pejalan kaki, dengan enaknya dapat menyeberang dimana pun mereka suka. Sekarang tidak lagi, sejak ada pagar penghalang, perubahan pun terjadi. Sudah tidak sebebas dulu lagi, namun orang jadi jauh lebih berhati-hati dan teratur dalam menggunakan jalan.

Dalam kehidupan kita pun begitu, selalu ada pohon di tepi jalan yang membuat nyaman orang-orang yang lewat untuk sekedar berdiri menunggu teman atau menikmati semangkuk bakso sambil melepas lelah. Ada orang-orang yang membuat kita nyaman dekat dengannya. Keluarga, sahabat atau teman yang selalu ada ketika kita membutuhkan, layaknya pohon peneduh jalan dan ketika mereka pergi sekedar untuk beberapa saat atau selamanya, barulah kita menyadari betapa berharganya mereka. Tidak ada lagi tempat berkeluh kesah atau berbagi kebahagiaan.

Pagar pembatas dalam kehidupan kita, biasanya berupa aturan atau norma-norma yang berlaku di sekeliling kita. Segala sesuatu yang tadinya bisa-bisa saja kita nikmati, ketika kita mengetahui bahwa hal itu tidak lazim atau bahkan tidak boleh dilakukan, maka perubahan itu seharusnya membuat kita lebih berhati-hati.

Tuesday, October 6, 2015

Perfection is Simple

Everybody has their own standard of perfection. I have too, but for me, my standard of perfection is simple.

Some people think, perfection is when they meet their friends and have a nice conversation about their life. Knowing each other better after long time no see or finding solution of problems they're facing. 

Delicious foods and drinks also perfection for some people. For people who live in poverty, having meals to eat is more than perfect to face their day.

Adventurous travel of mountain hike, or sea diving is perfect trip for some people. Some other like to have chic travel with shopping and glamorous places to visit. For many other, having any of the trips without people they love is not perfect at all. 

Everybody has their own grade of perfection and wherever is yours, it never perfect until you have it with gratitude. That's the key of perfection.

Monday, October 5, 2015

Para Jomblo Keren

Saya baru tersadar satu hal ketika saya bersepeda kemarin sore. Beberapa tenda aneka warna berdiri dengan cantiknya di jalan-jalan. Tidak lupa tulisan, "Dilarang masuk kecuali undangan."
Yak! Ini musim menikah! Musim yang diprediksi akan hadir setelah lebaran haji atau Idul Adha. Ada pula yang bilang lebaran "mbek". Musim ini jauh lebih pasti dibanding musim hujan, musim duren, musim rambutan, atau musim buah lainnya. Pada musim ini, banyak yang berbahagia, ada pula yang biasa saja atau justru memelas. Kalau saya, masuk golongan mana? Saya bisa masuk golongan yang ikut berbahagia, bisa juga biasa saja, atau memelas. Ikut berbahagia ketika ada teman saya yang ikut menikah pada musim itu. Biasa saja karena saya tidak merasa dirugikan atau diuntungkan. Kalau memelas, nah ini kayaknya nggak deh. Setidaknya saya berharap semoga pada musim apapun saya akan selalu dalam keadaan bersyukur. Aamiin

Kali ini sungguh saya bukan akan membahas tentang musim fenomenal yang satu ini. Ide ini juga tiba-tiba muncul ketika saya bersepeda kemarin. Sungguh, berolah raga membuat pikiran semakin cemerlang. Sebagai seorang jomblo berpengalaman, tentunya saya juga punya beberapa teman yang tidak kalah jomblonya dengan saya eh, salah. Tidak kalah berpengalaman sebagai jomblo dengan saya. Mereka ini adalah para jomblo keren atau high quality jomblo. Ini adalah spesies manusia yang saya rasa sungguh klop dengan saya. Terutama untuk urusan jalan-jalan.

Saya punya seorang teman yang saya kenal karena dulu kami pernah jualan jus di hari Ahad pagi. Tentu sekarang tidak lagi, karena bertahun lalu, kami disibukkan dengan urusan kuliah dan hal lain. Skip skip...
Teman saya ini, super banget menurut saya. Pada masa krisis seperti sekarang, she decided to resign from her job. Iya, berhenti bekerja dan merencanakan sebuah apotek kecil miliknya sendiri dengan keahliannya. Saya sungguh terpana ketika suatu malam kami saling berkirim teks. Baginya, kemandirian bukan sekedar lipservice.

Jomblo kedua yang juga keren menurut saya adalah seorang teman, kakak kelas sebenarnya. Satu tingkat di atas saya. Mbak ini mampu menjawab banyak sekali pertanyaan saya atau siapapun yang bertanya padanya. Mbak ini dengan gagah berani membuka sebuah bimbingan belajar kecil di rumahnya bersama tiga orang temannya. Selain itu, mbak ini juga membuat sebuah event organizer. Kadang entah karena alasan apa, saya sungguh terpesona dengan kemampuannya mendengar (membaca karena sekarang kami lebih banyak berkirim teks) permasalahan orang lain dan memberikan berbagai solusi menyegarkan.

Jomblo lainnya yang tidak kalah keren, yaitu kakak saya sendiri. Perkenalkan, hehe. Mbak saya nih adalah sosok perempuan yang berani, mandiri, tegar, dan pemurah. Bahkan kami sebagai adik-adiknya, bohong jika kami tidak merasa berhutang budi padanya. Apalagi kedua saudara laki-laki saya. Mbak saya nih, mengambil peran sebagai kepala keluarga sejak bapak menutup usia lebih dari 13 tahun yang lalu.

Tentu saja mereka ini adalah jomblo-jomblo keren versi saya dan pada sisi kekuatan mereka masing-masing. Saya belajar banyak hal dari mereka dan menjadikan sisi kekuatan mereka sebagai panutan bagi saya. Sekeren apapun jomblo-jomblo versi saya, tetep sih saya berharap mereka akan segera mengakhiri masa jomblonya. Aamiin.
Seorang jomblo yang keren, tentu akan menjadi lebih hebat jika dia menjadi seorang istri atau ibu. *uhuk!*

Oh ya, btw selamat ulang tahun TNI yang ke-70. Atraksi alutsistanya keren deh!

Thursday, October 1, 2015

Ayo, Naik Bis!

Sejak bulan September kemarin, saya mulai bekerja di tempat yang baru. Memulai pekerjaan baru setelah hampir sembilan tahun menjadi guru, sungguh luar biasa. Luar biasa menyita energi daaaan emosi (hahaha). Saya selalu membanding-bandingkan iklim kerja ketika saya jadi guru dengan saat ini. Bukannya saya tidak bersyukur, karena di satu sisi, banyak orang yang rela membayar untuk menduduki posisi saya sekarang (cieee...), tapi begitulah yang terjadi jika sekian lama kita menggeluti suatu hal, bahkan mencintainya lalu berubah haluan. Sadar atau tidak, tentu akan ada perbandingan. Oke, sebutlah itu sebagai masa adaptasi. Sampai kapan masa adaptasi itu? Let's see then...

Nah, dengan saya memulai pekerjaan baru ini, maka siklus hidup saya pun berubah sedikit (gaya, hehe). Kalau biasanya saya bermotor pergi dan pulang dari sekolah, kali ini saya menumpang bis untuk pergi dan pulang kerja. Kenapa? Emang nggak bisa kalo bermotor? Bisa aja sih, bahkan lebih hemat, tapi kalo dipikir-pikir, setiap hari bermotor selama satu jam lebih pergi pulang sungguh akan sangat melelahkan. Jika sekali waktu, saya sedang ingin bermotor, bolehlah. Lagipula, dengan menumpang bis, banyak keuntungan yang bisa didapat. Saya jadi ingat, beberapa tahun lalu, ketika saya masih duduk di bangku SMA. Waktu itu, tidak ada pilihan lain, saya memang harus menumpang bis setiap hari, dari Senin hingga Sabtu. Berangkat kurang dari jam 6 pagi dan pulang siang hari. Senang sekali saat itu karena banyak teman yang berangkat bersama-sama.

Ini adalah beberapa keuntungan menumpang bis :
  1. Mengurangi polusi udara. Bayangkan kalo sebanyak 40 orang yang bermotor setiap hari, Senin hingga Jumat beralih menjadi penumpang bis, maka udara kita akan lebih layak dan segar, kan?
  2. Kemacetan lalu lintas akan berkurang. Masih 40 orang yang tadinya bermotor, memilih untuk naik bis setiap hari, maka sebanyak 40 motor akan berkurang di jalan raya. Belum lagi kalau lebih dari 40 orang pemotor ditambah lebih banyak lagi orang yang bermobil memilih menumpang bis.   
  3. Bisa beristirahat di dalam bis. Secara pribadi, saya suka meluangkan waktu di bis untuk melakukan hal-hal yang belum saya lakukan di rumah karena harus bersegera mempersiapkan diri untuk berangkat. Jadi, selama perjalanan di dalam bis, saya bisa luangkan waktu untuk tidur jika mengantuk, tilawah jika posisi memungkinkan, dan menjawab pesan di whatsapp, BBM atau SMS.
  4. Mendapat aneka pengalaman. Ketika berada di dalam bis, bertemu dengan banyak orang yang bisa jadi berbeda setiap harinya, kadang memberikan nuansa baru di hati, melihat para penumpang lain, pengamen, pedagang asongan yang menjalani hidup dengan cara mereka masing-masing. Tidak jarang juga menambah rasa syukur atas rizki yang diberikan Allah pada saya.
  5. Belajar mengatur waktu dengan lebih bijak. Nah, ini bagian yang paling sulit. Sering kali, keadaan tidak seperti yang telah direncanakan. Misalnya, saya sudah berangkat lebih awal dari biasanya, tapi bis tidak kunjung datang, maka saya tidak akan sampai tujuan lebih pagi. Alih-alih kesal, lebih baik saya menyusun rencana untuk esok hari agar perencanaan waktunya lebih baik.
Naik bis itu menyenangkan loh, karena meski di luar macet, kita sebagai penumpang tetep bisa tidur nyenyak atau ngobrol enak, haha. 

Wednesday, September 30, 2015

Talk to Myself

Tetiba pingin nulis tentang sesuatu, walau belum ngerti juga mau nulis apa. Yeah, this is me. Random is my middle name. Tiba-tiba terpikir hal yang sama sekali nggak penting, lalu bicara sendiri dimana saja, kapan saja. "Penyakit" ini semakin parah bertahun-tahun karena saya intens bermotor sendiri. Ketika mengendarai motor, saya selalu bicara seperti dengan seorang teman, padahal saya berbicara dengan diri sendiri. That's why I always wear my mask. Itulah fungsi utama masker buat saya, bukan lagi untuk menyaring udara tapi untuk nutupin "penyakit" saya. Supaya saya nggak keliatan lagi bicara sendiri. Sekarang sih, saya tidak lagi berangkat kerja mengendarai motor, jadi frekuensi talk to myself juga berkurang. Mulai bulan September ini, saya berangkat menumpang bis, jadi agak mustahil juga bicara sendiri tanpa terlihat orang lain, kecuali kalo bisnya benar-benar sepi dan saya duduk sendiri. Momen bicara sendiri, bisa saya nikmati lagi ketika saya jalan kaki dari dan ke rumah.
Kadang seru juga sih, bicara sendiri. Saya menemukan diri saya yang lebih lepas dan (kadang) lebih cerdas. Yaah, dalam lingkungan sosial kan nggak selamanya kita bisa mengungkapkan sampah atau emas yang ada dalam pikiran kita ke orang lain. Iya kalo orang itu bisa terima, kalo nggak, walhasil kita bakal dinilai kurang baik di mata mereka.

Jika sebagian orang terutama perempuan menjadikan perawatan diri ke salon, belanja, atau memasak me time mereka, bagi saya bicara sendiri memberi relaksasi tersendiri. Jadi, jika melihat ada orang bicara sendiri, tak usah dihiraukan. Anggap saja mereka sedang menghibur diri sendiri :-).

Monday, September 7, 2015

Menunggu itu Berjuta Rasanya

Menunggu itu berjuta rasanya. Sungguh!
Ditambah lagi jika hal yang ditunggu itu tidak jelas kapan datangnya. 

Kali ini saya harus menunggu selama lebih dari lima bulan. Kalau mengikuti kata hati, jelas menunggu itu adalah hal yang menyebalkan. Fase menunggu dan galau saya kali ini, sungguh mengerikan. Saya jadi nggak gajian, yang berarti saya mengalami bokek kronis. Kalau biasanya dengan rutinitas harian, saya masih bisalah, dengan optimis merencanakan jalan-jalan, kali ini sungguh, untuk mengganti baterai jam tangan saja saya harus berpikir berulang-ulang. Terdengar lebay? Yoi! Penantian ini juga lebay buat saya *sigh*.

Well, bagaimanapun yang sudah terjadi tak usah disesali. Situasi ini juga adalah pilihan saya. Satu hari saya akan mengenang ini sambil senyum-senyum kok, insya Allah.

Syukurlah, saya termasuk orang yang kreatif kalau kepepet (oh! really?).
Inilah bukti pikiran kreatif saya: 
  • Saya berolahraga hampir setiap pagi dan tidur siang setiap siang, hahaha. Ini hal yang nggak bisa saya lakukan kalau saya bekerja.
  • Saya jadi teringat kalau saya punya tabungan unitlink yang bisa dicairkan kapan saja. Jadi, sudah tahu kelanjutannya, kan? 
  • Saya memulai usaha laundry kiloan yang sudah saya inginkan sejak lama, melirik banyaknya usaha sejenis yang tidak pernah sepi. Walau dengan modal seadanya dan tenaga sendiri. Judulnya, saya jadi direktur sekaligus pekerja di perusahaan laundry saya *ngakak guling-guling.
Sekarang sih, saya sudah mulai bekerja kembali, walau belum tahu apakah sudah akan berpenghasilan kembali juga. Kok bisa? Nanti saya ceritakan lagi ketika segalanya sudah jelas ya.

Inti dari tulisan (baca:curcol) saya kali ini adalah, menunggu itu menyebalkan, jika tidak ada yang bisa dikerjakan sambil menunggu. Dalam kasus saya, penantian saya menyebalkan karena saya dalam kondisi tidak berduit! Menyebalkan karena saya nggak bisa jalan-jalan dan senang-senang. Eh, saya sempat jalan-jalan juga sih, naik gunung dua kali. Itu di awal menanti, karena waktu itu saya nggak nyangka bakal harus menunggu sekian lama.
Saya masih dalam masa penantian sih, tapi saya belajar banyak dari proses ini. Belajar menghargai banyak hal dan memahami makna sabar serta melihat apa yang dimiliki, bukan apa yang diinginkan tapi belum ada. 

Monday, April 13, 2015

Journey of Finding Myself (Gede Mt.)

Di saat koneksi internet lagi oke kayak sekarang nih, enaknya posting sesuatu yang juga oke.
Aku punya "things to do list" sebelum meninggal. Ga tau kapan juga akan meninggal, kan? Yaah...setidaknya untuk hal-hal yang bisa dikira-kira dan direncanakan. Apa tuh yang ga bisa? Pikir sendiri aja ya, hahaha.

Salah satu hal yang sebenarnya ingin banget dilakukan sejak saya berusia lebih muda (uhuk!) adalah naik gunung. Naik gunung beneran maksudnya, bukan gunung pemancar yang ada di komplek rumah dulu. Itu mah jaman bocah juga udah sering banget. Ga butuh usaha yang keras juga sampai di puncaknya dan turun dengan selamat hanya dalam hitungan 2 jam kali ya, but anyway, it was wonderful also. 

Nah, sebagai alumni fakultas kehutanan yang waktu kuliah dulu kerjaannya keluar masuk beberapa jenis hutan mulai dari hutan pantai dan dataran rendah di Sancang, hutan dataran tinggi di Kamojang dan Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango, rasa-rasanya aneh jika nggak pernah naik gunung beneran. Beneran disini maksudnya, naik gunung dengan sensasi tidur di tenda, masak pake kompor portable (halah! Kayak bisa masak aja, hehe), dan jalan berjam-jam bersama ransel gede di punggung. 

Awal tahun 2015 ini saya bersama tim 12 naik Gunung Ijen dan menyaksikan betapa indahnya kawah Ijen, nah di bulan Maret kemarin ada teman yang menawarkan naik Gunung Gede bersama komunitas One Day One Juz (ODOJ) Tangerang. Wah, mau dong pastinya! Ga pake mikir lagi, langsung mengiyakan aja, dengan pertimbangan kalau naik dengan komunitas pasti udah tau beresnya aja. Mengingat mengurus surat ijin mendaki (SIMAKSI) kesana itu kayaknya agak ribet. Well, sempet terancam batal dan pindah haluan karena satu dan lain hal, alhamdulillah akhirnya berangkat juga.

Kamis, 2 April 2015
Janjian di Masjid Al Azhom Tangerang dengan teman-teman ODOJ Tangerang. Janjian jam 17.00 tapi baru berangkat dari Cilegon jam 16.30 karena biasa deh kalo janjian suka ada aja yang telat. Skip! Saya berangkat berdua dari Cilegon.
Rute kendaraan umumnya, dari Cilegon naik bis jurusan Kalideres tarifnya Rp. 25.000, bilang sama asisten pengemudinya minta diturunin di TangCity. Tadinya saya kira TangCity ini wilayah semacam BSD, ternyata depan mall TangCity. Dari situ naik angkot 01, bilang aja ke Masjid Al Azhom, tarifnya Rp. 5.000. Ternyata jalannya lumayan juga. Okelah, hitung-hitung pemanasan. Padahal laper euy! Itu sekitar jam 20.00. Sampai di Al Azhom, kamilah peserta yang datang paling akhir. Jangan dicontoh ya, meskipun jauh tetep bukan alasan untuk datang telat. Ga profesional namanya! Setelah shalat Maghrib dijamak qashar dengan Isya, lalu berangkat deh! Naik tronton Polisi yang tempat duduknya memanjang di sisi tronton gitu, hahaha. Biasa aja sih, ini masih mending dibandingin pas kuliah dulu, naik tronton juga tapi bedanya tanpa tempat duduk. Jadi semua orang tumpah ruah di baknya. Kalau ngerem ya alamat, tumpah ke depan semua, haha! Setelah semua duduk manis di bak tronton, eh ga semua ding, para pria ada yang berdiri. Tronton melaju dan saya makan bekal nasi bungkus dari ibu (Ibu memang tidak ada duanya *jempol*). Lumayan lah, perut terisi, sekarang waktunya tidur. 

Jumat, 3 April 2015
Tak sadarkan diri entah berapa lama, begitu bangun udara sudah terasa lebih rendah daripada waktu saya belum tidur tadi. Ya iyalah, udah mau sampai Cibodas. Ya, kami mendaki dari Cibodas dan turun nanti via Gunung Putri. Waktu menunjukkan sekitar pukul satu dini hari. Turun truk, simpan ransel, cari toilet lalu ngobrol-ngobrol dengan teman-teman baru di pendakian kali ini. Kenalan, berbagi cerita gunung mana saja yang pernah didaki dan ternyata, we are all newbie! Jadi, saya cerita aja tentang pengalaman saya mendaki gunung-gunung bersama si mbah favorit, google, wakaka...

Sekitar jam dua, kami putuskan untuk mulai mendaki. Sebelumnya berdoa dulu, memohon pertolongan Allah dalam pendakian kami. Berdoa selesai, lalu foto!
siap nanjak!
Jalan sekitar 10 menit terus berhenti di pos ranger untuk mengurus SIMAKSI dan cek kelengkapan. Sabun, odol, shampo yang dibawa harus dikumpulkan karena tidak boleh dipakai selama pendakian. Dengan berat hati -karena baru beli, hihihi- teman-teman mengumpulkan perlengkapan mandi mereka. Saya sih ga bawa alat mandi sama sekali, karena sudah cari tahu info pendakian ini sebelumnya. Selain itu, saya juga ga yakin akan bisa mandi di gunung.
Oh ya, kami yang pakai sandal gunung juga harus membuat surat pernyataan bahwa jika terjadi apa-apa karena penggunaan sandal akan menanggung akibatnya sendiri. Bayar Rp. 15.000 untuk materai. Mahal yak! So, kalau memang ada dana, belilah sepatu!

Perjalanan selanjutnya, masih nanjak dengan jalanan berbatu. Ga sempat foto-foto, karena gelap juga sih bahkan saya sempat hampir salah jalan. Alhamdulillah ada teman yang ngasih tau.

Dalam pendakian ini, ada delapan orang perempuan, mbak-mbak ini dari hasil obrolan kami sih, mereka masih muda-muda. Early or middle twenty lah tapi stamina saya nggak memalukan dibanding mereka. Masih keliatan lah anak Fahutannya, hehe.

Pas nanjak, lihat pal hm, rasanya ingat waktu praktik Ekologi Hutan, masuk ke hutan itu lalu sibuk mengidentifikasi semai, tiang, pancang, pohon. Kangeeen!
*move on**sigh*

Terus berjalan, melewati jembatan yang sering difoto orang-orang di blognya. Sayang kami lewat sana waktu masih gelap, jadi ga nafsu foto-foto. Surprise juga buat saya, karena saya pikir jembatan itu pendek, ternyata lumayan panjang dengan suara derasnya air di kanan kiri dan bawah jembatan. Cukup mencekam sih karena gelap sekali, hanya mengandalkan cahaya headlamp. Setelah berjalan hampir satu jam, sampai di depan plang ini,

kami putuskan untuk berhenti sejenak menunggu waktu Shubuh. Lumayan sih nunggunya lebih dari 30 menit. Setelah shalat Shubuh berjamaah tiga giliran, perjalanan dilanjutkan. Medan yang selanjutnya sungguh lebih menantang, ehem!





Kata teman-teman yang sebelumnya sudah pernah kesini, jalan ini baru diperbaiki dari yang sebelumnya tanah. Menurut teman-teman saya lagi, sekarang jadi lebih nanjak, hahaha. Olah raga lutut kalo nanjak jadinya.

Setelah nanjak, terengah-engah, lalu kami disuguhi sumber air panas. Berasa kayak di sauna deh. Boleh foto disini tapi jangan lama-lama ya, bisa macet.
This is my favorite spot! Airnya panas beneran emang. Sempat kena kaki saya yang berkaos kaki juga dan hangat! Sedari mulai trekking kedinginan, ini kena air panas dan rasanya hangat, it felt good anyway!

Jalan lagi, then another surprise was there! Air terjun indah di depan mata, sumber air jernih yang bisa diminum. Langsung tampung!



Jalan lagi. Ngos-ngosan lagi, sampailah di Kandang Badak sekitar jam 10 pagi. Leyeh-leyeh, makan cemilan, ngobrol-ngobrol. Dari 31 orang dalam rombongan, kami berlima sampai di rombongan kedua setelah 4 orang yang sampai lebih dulu. Sekitar 30 menit istirahat, kami bersembilan memutuskan melanjutkan perjalanan karena kelihatannya akan hujan. Berbalut jas hujan masing-masing, kami melanjutkan perjalanan dengan target puncak Gede!

Benar saja, tidak lama berjalan, hujan rintik mengiringi, tak lama kemudian hujan deras! Jalanan menanjak dan dialiri air membuat kami hanya bisa terus berjalan tanpa bersuara. Ngeri juga sebenernya, kuatir ada air yang lebih deras. Empat teman kami yang sampai di tanah yang lebih datar membuat shelter darurat. Berteduh sebentar, setelah reda, kami pun melanjutkan perjalanan ke puncak. Jalanan sungguh menguras energi. Sungguh terjal. Alhamdulillah, sekitar jam 12.30, kami sampai di Puncak Gede. Here are the view! Amazing, GREAT!




Gagahnya Pangrango

Really, once again I felt nothing compare to His existence!

Sungguh, perjalanan ini bukan menaklukkan Gunung Gede dengan kegedeannya, tapi sejatinya menaklukkan ego dalam diri, kemalasan, rasa mudah menyerah, dan memahami bahwa Allah itu sungguh akan selalu bersama kita. Masya Allah!

Terbayar semua kelelahan, kedinginan, rasa lapar, haus, dan kesal karena banyak hal. Sungguh, pergilah ke gunung untuk menikmati udara segar dan menjadi diri sendiri.


Well, that's all! Kami berkemah di Surya Kencana dan turun lewat Gunung Putri. Perjalanan turun memakan waktu 4 jam. Ditemani hujan dan tanah becek. Jatuh berkali-kali pula, hahaha. Saya banget sih sebenernya kalau bagian jatuh sih.






Saturday, February 28, 2015

Mystical Alas Purwo

Last but not least. It would be our last day in the city of sunrise of Java, Banyuwangi. The feeling was can't be described. I was happy that everything ran well but in other side, I felt uncomfortable to recognize that it would be the end of the trip.

We spent the night in a home stay in Red Island Beach. As I told before, the beach and the island were wonderful. After eating our sego pecel then it's time for us to packed our stuff for the last time in the trip. It's all done before eight but we left after eight.

Alas Purwo is another National Park we would visit in this trip. It took about 3 hours to go there from Red Island Beach. On the way to Alas Purwo, we visited one of many dragon fruit farm. The lady who owned the farm was so nice. She didn't let us to pay. So, the dragon fruit was free. Huge thanks for her. Another lesson of sincere for me from the trip. Let Allah pay her back with much kindness.


Picking the dragon fruit
Us with the kind lady


Okay, we continue our journey to Alas Purwo. I didn't really conscious to pay attention to the road. I fell a sleep. Then I woke up and see this.


dried off forest 
 There were tiny drops of rain on our way to Alas Purwo and we still drop off the minibus and took some photos, hehe. Around twelve o'clock, we arrived in Alas Purwo, go to the rest room, wudhu, and pray. Then we go to the beach by special car. Through the primary forest of Alas Purwo and the amazing thing is, there were thousand of one-color butterflies with us as if they were taking us to the beach. What an unforgettable moment we had. Lucky us!



Alas Purwo is well known as its mystical. In the forest, there are places for Hindu people to pray or pura. I felt there's something different in it. Hard to describe, let me just share the breath taking view here.
Alas Purwo Beach

View from Raymond's camp

It's us in the wood
So, this is goodbye?
After this, we left Banyuwangi at night with deep feeling of satisfaction and happiness. Thank you fellas. See you all in the next trip :).