Monday, July 5, 2010

Pendidikan Inklusif, Alternatif Pendampingan Anak

Artikel ini diambil dari salah satu rubrik kesehatan di Kompas.

Sabtu, 7 Maret 2009 | 23:13 WIB



* Pendidikan Dini demi Masa Depan Anak

YOGYAKARTA, SABTU - Pendidikan inklusif yang memasukkan unsur keragaman, nilai, budaya, sikap, bahasa bisa menjadi alternatif bagi pendampingan anak sebagai manusia yang seutuhnya.

"Pendidikan inklusif memberikan peran kepada sekolah sebagai laboratorium kehidupan bagi anak," kata praktisi pendidikan Elga Andriana M.eD dalam seminar Kedudukan Anak dalam Masyarakat, di Yogyakarta, Sabtu.

Menurut dia, dalam pendidikan inklusif, anak tidak dihindarkan dari pendidikan di luar pendidikan akademis, tetapi didekatkan dengan keragaman dan masalah.

Cara-cara yang ditempuh melalui pembelajaran yang diberikan, lanjut dia, memungkinkan anak menggali, lingkungan fisik yang ditata memungkinkan interaksi, sedang komunikasi yang dibentuk mengarah pada dialog.

"Tetapi, pemaknaan inklusi masih kerap diartikan secara sempit, yaitu dipahami sebagai pendidikan yang mencampurkan anak berkebutuhan khusus dan anak bukan berkebutuhan khusus," katanya.

Oleh karena itu, katanya, sekolah memiliki peran untuk menyadarkan masyarakat sehingga anak mampu memaknai segi kehidupan yang penuh masalah dan perbedaan.

"Warga sekolah, mulai dari kepala sekolah, guru dan orang tua diharapkan menjadi warga yang reflektif," ungkapnya karena anak memiliki sifat mudah dimasuki materi-materi baik yang bersifat obyektif atau subyektif.

Sementara itu, anggota Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)Magdalena Sitorus, menyatakan bahwa hak-hak anak harus mendapat jaminan pemenuhan, yang meliputi hak sipil, hak pendidikan, hak kesehatan, keluarga dan pengasuhan serta perlindungan khusus.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2003 tentang perlindungan anak, pengertian anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun.

Hanya berbeda...



Sejak saya menjadi guru di sekolah yang sekarang, lebih dari empat tahun yang lalu, saya mulai mengenal anak-anak yang berbeda dari anak-anak umumnya yang pernah saya temui.
Pada hari pertama menjalani tes micro teaching, di depan siswa lain, kelas 3 waktu itu. Tiba-tiba ada seorang anak yang menyapa dengan santainya (plus suara lucu), memperkenalkan dirinya dan anak itu pun pergi sebelum aku sempat menjawab sapaannya. Bingung donk, ya iyalah! Saya baru aja mangap, hehe, eeh, anaknya udah ngabur. Baru kemudian, saya tau anak itu memang berbeda dari temannya dan perlu didampingi, juga memiliki kemampuan mengerjakan soal matematika sama dengan temannya yang lain di kelas.
Hari-hari berikutnya, hari-hari saya dipenuhi dengan beragam tingkah polah murid-murid yang unik dan lucu. Pernah ada satu anak yang jatuh dan dagunya berdarah-darah, (beneran banyak banget!), tapi apa yang dikatakannya, sakit? aduh? bukan, tapi kalimat ini, "Tidak boleh membeo!" aku yang saat itu menahan mual karena melihat darah yang segitu banyak, jadi ketawa deh.
Atau pernah ada seorang anak yang dengan wajah serius (tapi sebenarnya tanpa ekspresi sih), pertanyaannya begini, "Bu, kalo disitu ada setannya ngeri apa serem?" padahal dua kata itu kan gak beda ya? Haha...
Bahkan anak-anak yang kategori biasa pun sebenarnya unik. Tidak ada satu pun anak yang tercipta sama persis. Begitu pula manusia dewasa.
Jadi , jika kita, Anda, saya, bertemu dengan anak yang berbeda, dan mungkin mengganggu karena menangis terus menerus atau berbicara sendiri, cobalah berempati, minimal tunjukkan senyum kita, dan bukan menatapnya dengan pandangan terganggu, karena percayalah mereka juga tidak memilih untuk jadi berbeda. Lagi pula, mereka hanya berbeda kan, dan ini bukan masalah lebih baik atau lebih buruk. Hanya berbeda.