Monday, November 30, 2015

Lumrah tapi (Ternyata) Salah

Anak kecil jaman sekarang beda ya, dengan anak kecil jaman kita kecil dulu? Anak sekarang itu lebih pecicilan dan cerewet. Ciri-ciri anak sehat katanya emang gitu. Senang bergerak dan melakukan hal-hal yang menarik buatnya. Ya lah, semua anak kan memang melihat dunia sebagai tempat mereka bermain. The world is a playground and everytime is also play time. Some of us as an adult also think the same way, do we? Hayo ngaku! Cuma bedanya, kita sebagai orang dewasa sudah terbentuk oleh norma-norma, pendidikan, persepsi, dan tanggung jawab sehingga keinginan untuk bermain itu tentu berkurang, sedikit demi sedikit. Namun jika keinginan itu "disentil" sedikit, maka jangan ditanya!

Nah, dalam proses bermain itu, pasti ada kan saatnya si anak udah dibilangin berkali-kali masih ngeyel, trus jatuh, terluka, nangis. Lalu biasanya (dari pengalaman dan pengamatan saya), orang tua di sekitarnya bereaksi kesal dan balik marah ke si anak itu. Saya ingat ketika di sekolah saya dulu, ada teman guru yang ngajak anaknya ke sekolah. Si anak ini perempuan, usia 2 tahunan, aktif seperti anak-anak lain seumurnya lah. Tiba saat ketika anaknya jatuh, terluka dan nangis. Ibunya sibuk marahin anaknya sambil teriak-teriak. Di saat yang sama, kami semua menoleh ke arah si ibu. Ada apakah? Kenapa heboh sangat?

Di saat yang sama, teman saya yang lain yang ada di dekatnya, berbalik menegur si ibu.
"Anaknya udah sakit itu badannya karena jatuh. Jangan dibikin sakit juga hatinya karena dimarahi." Bicaranya santai, tapi dalem.

It's a slap moment. Selama ini, saya pikir reaksi seperti itu adalah hal yang lumrah. Padahal sungguh hal itu menyakiti perasaan si anak. Dia mungkin suatu hari akan lupa dan mengabaikan "marahnya" si ibu tapi bentakan akan menetap di alam bawah sadarnya. Efeknya, bisa jadi dia malah jadi anak yang ignorance dan tidak bisa diingatkan kecuali dengan cara dibentak. Teman saya yang menegur tadi itu memang tidak pernah saya lihat menegur anaknya dengan cara yang keras, padahal saya lumayan sering berinteraksi dengan keluarganya. Walhasil, dua anaknya berperangai halus dan mudah diarahkan. Ini kisah nyata.

Saya punya empat keponakan yang super duper juga dan saya ingat terus kata-kata teman saya ini. Ketika para krucils berkunjung ke rumah yangtinya yang adalah ibu saya, saya berusaha untuk tidak menegur dengan keras apalagi ketika mereka sudah tersakiti sebelumnya meski akibat perbuatan mereka sendiri. Badan boleh sakit tapi toh akan segera pulih.

Friday, November 27, 2015

Wake Up Call

Cuma mau bilang gini...

“Kalau memang terlihat rumit, lupakanlah. Itu jelas bukan cinta sejati kita. 

Cinta sejati selalu sederhana. Pengorbanan yang sederhana, kesetiaan yang tak menuntut apapun, dan keindahan yang apa adanya.” 

Bukan saya sih, yang bilang. Itu quotenya Bang Tere di novel "Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin" and I couldn't agree more.

That's it... 




Thursday, November 26, 2015

Hujan

Siang ini Serang tidak sepanas biasanya. Sudah mulai masuk musim hujan mungkin. Mendung.

Kata teman saya, "Sudah bisa nyanyi November Rain ya?"
Saya bilang, "Boleh aja, tapi disini rainnya masih malu-malu. Mungkin disini nanti lagunya ganti judul dulu jadi December Rain."

Sejak kecil saya selalu suka hujan. Sering sembunyi-sembunyi main hujan. Pulang ke rumah mindik-mindik, kuatir dimarahi karena hujan-hujanan. Suka juga ketika pulang sekolah dan hari hujan. Sengaja lewat jalan terjauh untuk sampai ke rumah, 'melupakan' payung di dalam tas yang telah dengan susah payah dibelikan ibu. Lain lagi kalau berangkat sekolah dengan bersepeda. Itu lebih menyenangkan lagi. Nggak mungkin kan bersepeda sambil memegang payung? 
Bersenda gurau dengan teman-teman yang juga 'melupakan' jemputan becaknya. Ikut berjalan kaki hingga di tengah perjalanan baru naik becak dengan pakaian, sepatu, dan tas basah kuyup. Entah seperti apa rupa buku-buku di dalam tas. Tertawa-tawa sambil saling meledek. Masih enggan pulang karena betah bermain hujan.

Bagi saya, main hujan di waktu kecil itu menyenangkan karena ketika sampai rumah, sudah tersedia secangkir minuman hangat. Bisa susu coklat atau teh manis buatan ibu. Jika pulang sekolah hujan dan itu hari Sabtu, maka yang terjadi justru sebaliknya. Saya memilih tidak buru-buru pulang. Menunggu bapak menjemput di depan sekolah sambil membawa payung. Walau tidak kehujanan, di rumah tetap menanti secangkir minuman hangat.

Akhir-akhir ini, hujan semakin jarang datang. Kata orang, alam sudah tidak bersahabat lagi dengan manusia. Mungkin yang terjadi adalah sebaliknya. Manusia yang semakin banyak jumlahnya, semakin hobi pula menyulut kerusuhan dengan alam.

Oh ya, ini kata teman saya yang lain. Hujan adalah satu persen kenangan dan sisanya yang 99% adalah mi rebus ditambah telur dan cabe rawit.

Cheers!