Saturday, January 23, 2016

Antara Pilihan dan Takdir (2)

Pilihan lainnya adalah cinta. Halah, berat amat ngomongin cinta! Oke, jangan ditimpukin dulu. Baca dulu, kalo ternyata ecek-ecek nyebelin, boleh lah timpuk saya. Pakai lembaran kertas yang ada gambar I Gusti Ngurah Rai atau para proklamator ya.

Sebagai pembuka, saya hendak mengutip kata-kata Mbah Sujiwo Tejo,
"Menikah itu nasib, mencintai itu takdir. Kau bisa berencana menikahi siapa, tapi tak dapat kau rencanakan cintamu untuk siapa."

Menurut saya, baik mencintai atau menikah, keduanya adalah pilihan yang kemudian menjadi takdir. Jangan bilang gini, "Emang udah takdirnya saya punya suami atau istri yang begini begitu, bla bla bla." Atau ada orang yang tidak setia dengan alasan mencintai orang lain atau bahkan tidak (lagi) mencintai pasangannya. Mencintai atau tidak, bukan alasan untuk tidak setia.

Takdir itu pada hakikatnya adalah buah dari keputusan atas pilihan-pilihan kita. Begitu pula dalam urusan cinta. Bisa nggak kita berencana kejatuhan cinta? Mungkin nggak, seperti kata banyak orang dan yang sering juga kita saksikan di banyak film, baca dalam cerita novel, atau alami sendiri. Cinta itu datang tiba-tiba, mirip-mirip dengan jelangkung. Datang tak diundang, tapi repotnya, perginya si cinta ini sering kali bahkan sudah diantar, diusir, tetap nggak mau pergi juga, malah semakin lekat di ingatan. Eh, curcol, maap!

Peristiwa kejatuhan cinta atau biasa disebut jatuh cinta, mungkin memang tidak bisa direncanakan, namun pilihan untuk tetap membersamai cinta itu atau meninggalkannya, itu adalah pilihan. Apalagi jika cinta itu terlihat rumit dan tidak jelas arahnya, serba kabur. Maka lupakanlah, itu bukan cinta sejati.

Melupakan cinta, itu perkara lain. Teorinya, jika tidak jelas, rumit lalu lupakan. Praktiknya, tentu tidak semudah itu. Ingatan itu unik. Semakin berusaha dilupakan, maka semakin lincah dia bermain-main di memori. Paling mungkin, alihkan ke ingatan lain atau sekalian eksplorasi menjadi novel, puisi, lagu atau apalah yang berbuah keuntungan. Bagi saya, hal-hal yang berkaitan dengan perasaan, tinggal perkara mau atau tidak. Nah, memilih mau atau tidak, itu hak prerogatif. Perkara kemudian ada banyak faktor yang membuat proses move on itu tidak mudah, ya kembali pada keputusan untuk mau atau tidak. Sekali bergerak maju, tidak boleh sering-sering melihat ke belakang. Perasaan dan ingatan itu kadang menipu dan melenakan.

Friday, January 22, 2016

Antara Pilihan dan Takdir

Manusia selalu dihadapkan pada pilihan-pilihan dalam hidupnya. Klise ya? Semua orang juga tahu itu. Lah, emang saya juga nggak sedang berusaha membuat teori baru dalam kehidupan kok, haha. Siapa diri kita, bagaimana hidup kita, itu adalah hasil dari banyak pilihan yang telah kita buat. Sekolah yang kita pilih, jurusan kuliah yang kita atau orang sekitar kita pilihkan untuk kita, pekerjaan yang kita jalani sekarang, bahkan kepribadian kita, itu pun hasil dari pilihan kita. Hal sederhana seperti datang jam berapa kita ke tempat kerja atau ke sekolah itu juga bentuk pilihan. Bagi sebagian orang, memilih berolahraga dan menjalani pola hidup sehat, itu pun pilihan. Adapun ketika kita sudah memilih untuk menjalani pola hidup sehat dengan maksud supaya sehat tapi ternyata tetap sakit juga, itu adalah takdir. 

Saya membuka percakapan sederhana dengan seorang teman beberapa hari yang lalu tentang pilihan atau takdir ini. Dalam kehidupan yang relatif singkat ini, kita cenderung dihadapkan pada berbagai pilihan yang sering kali memusingkan kepala dan membuat galau. Pilihan kadang juga melibatkan orang lain tentu saja, terutama jika keputusan dari pilihan itu akan berpengaruh juga ke orang-orang terdekat kita. Let's say, sekolah. Kalau dipikir pendek, "Saya ini yang sekolah, saya  yang menjalani. Nanti yang jadi pinter atau tetap bodoh juga saya." Oke, pikiran kayak gitu ada benarnya, tapi nggak sepenuhnya benar. Pendidikan itu berpengaruh pada pekerjaan kita di masa depan. Kita sebagai orang Indonesia yang biasa-biasa saja secara ekonomi, tentu suatu saat akan harus mencari pekerjaan untuk mendukung hidup kita. Kalau pendidikan kita nggak memadai, tentu akan sulit mencari pekerjaan yang layak untuk hidup kita. Lain soal jika kita adalah orang yang lincah membuat jaringan dan membangun bisnis yang oke punya. Pendidikan jadi bukan masalah besar. Toh, kita bisa membiayai hidup kita dari bisnis yang menjanjikan, tapi kan nggak banyak orang yang seperti itu. Saya kenal beberapa orang yang menyesali pilihan mereka tentang pendidikan ini. Tidak ada jalan kembali, karena waktu yang sudah bergulir, tidak mungkin diputar kembali. Oh ya, dampak dari pilihan pendidikan ini banyak berpengaruh ternyata kepada keluarga dan orang-orang terdekat. Gampangnya gini, kalau kita ternyata di masa depan tidak bisa membiayai diri sendiri secara layak, maka siapa yang akan direpotkan? Keluarga tentu, kan? Keluarga itu adalah lingkaran terdekat yang paling tidak bisa berdiam diri ketika sesuatu terjadi dalam hidup kita. Malah kadang, ketika kita senang, keluarga hanya bisa ikut berbahagia, namun tidak bisa merasakannya langsung. Sebaliknya, kesusahan kita sudah menjadi kesusahan bagi keluarga. 


Monday, January 18, 2016

Kali Ini, Pajak Lima Tahunan

Oke, pagi ini ditemani hujan di pagi pertengahan Januari, saya membulatkan tekad untuk mengurus pajak motor saya. Hujan-hujan begini memang sebenernya males untuk keluar rumah berpakaian rapi. Enaknya ajak ponakan, keluar rumah trus main hujan, hahaha. Anyway, it's Monday! It's my decision to be in a good spirit every Monday. No matter what. So, there I was. In my raincoat, holding tight my key and preparing all things required to complete the requirements needed.

Berbekal pengetahuan hasil tanya-tanya Mbah Google, saya berangkat ke kantor Samsat. Dari blog seseorang yang entah siapa namanya, saya dapat info bahwa berkas yang harus saya bawa, yaitu
  1. BPKB, STNK, KTP a.n STNK asli.
  2. Fotokopi BPKB, STNK sebanyak 1 (satu) lembar.
  3. Uang buat bayar pajak (ya iyalah!).
  4. Bawa motor atau kendaraannya.
Nah, sekarang what to do di kantor Samsat!
  1. Parkir kendaraan di tempat cek fisik. Bukan di parkiran umum kalo mau bayar pajak tahunan ya. Biasanya ada tulisan "Cek Fisik" atau semacamnya lah. Disitu serahkan fotokopi BPKB dan STNK serta STNK dan KTP asli. BPKB asli sekedar ditunjukkan ke petugas. BPKB disimpan kembali.
  2. Petugas bagian cek fisik meminta bagasi motor atau kap mesin kalau mobil dibuka, karena mau menggosok nomor rangka kendaraan. Setelah itu nunggu, nama dipanggil, petugas akan mengembalikan berkas kendaraan.
  3. Setelah berkas dikembalikan, berkas dibawa ke loket tempat pembayaran pajak kendaraan di Gedung Samsat. Ambil nomor antrian, lalu menunggu lagi untuk dipanggil dan diberikan formulir yang harus diisi. Biar lancar, bawa pulpen sendiri deh, supaya nggak antri pulpen.
  4. It's all about waiting. Setelah mengumpulkan formulir, formulir diganti dengan nomor antrian baru. Ini nanti akan ditukar dengan rincian pajak yang harus dibayar. Tunggu lagi nomor antrian dipanggil.
  5. Nomor antrian dipanggil dan selesaikan pembayaran di loket. Setelah diberi tanda lunas, selanjutnya penantian akan segera berakhir (halah!).
  6. Setelah dipanggil, tandanya penantian saya akan berakhir di kantor Samsat, dan artinya STNK sudah jadi.
  7. STNK diserahkan oleh petugas sambil dijelaskan bahwa nomor plat kendaraan baru akan jadi tahun depan (what??). Kira-kira gini kata pak petugas, "Jadi tahun depan sambil bayar pajak kendaraan tahunan, plat nomor sudah bisa diambil." Ya sudahlah...
  8. Bayar parkir dan pulang.
  9. Durasinya sekitar dua setengah jam dari awal antri cek fisik sampai dapat STNK baru. Kalau sampai dapat plat nomor, ya berarti setahun lebih dua setengah jam, hahaha.
Itu cerita saya, inti dari postingan ini adalah menunggu itu bagian dari hidup dan saya sudah terbiasa. Nunggu kamu selama ini aja sabar, masak nunggu STNK dua setengah jam aja nggak sabar. (OST. A Thousand Years - Christina Perri).

Monday, January 4, 2016

Book Filming

Barusan baca blognya Adhitya Mulya, seperti biasa sekedar iseng karena nggak ada kerjaan atau justru jenuh dan cari inspirasi disitu. Inspirasinya bisa bermacam-macam sih, mulai mood booster hingga cari ilmu baru. Akhir-akhir ini, sering kali postingan disitu tentang parenting. Keren sih, postingannya. Gaya menulisnya juga asyik.

Sebelumnya kan saya pernah posting resensi novel "Sabtu Bersama Bapak", nah tadi saya lihat, novel itu akan difilmkan. Cerita behind the scene pembuatan novel itu juga seru. Enaknya ya, bisa buat special request, siapa sutradara dan pemainnya. Tidak semua sih, tentu tapi cara Adhitya Mulya menceritakannya keren. As always!

Buat saya, novel selalu lebih menarik dibandingkan filmnya. Ini berdasarkan persepsi saya secara pribadi berdasarkan beberapa film yang saya tonton dengan semangat 45 karena sudah baca novelnya. Begitu nonton filmnya, saya jadi agak kecewa. Membaca novelnya sungguh lebih kaya nuansa dibanding menonton filmnya. Ketika membaca, setting, karakter, ekspresi dalam novel menjadi hak prerogatif pikiran kita sebagai pembaca. Pun, ketika saya ikut kelas menulis di Rumah Dunianya Gol A Gong, dan mengundang salah seorang produser untuk memfilmkan karya fenomenal Gol A Gong, Si Roy. Beliau bilang, film memang punya banyak keterbatasan dan salah satunya memang persepsi pembaca yang berbeda-beda. Nah, tuh nyambung kan dengan alasan saya. Sepanjang pesan dalam film tidak melenceng jauh dari novelnya sih, nggak ada salahnya kalau ada kesempatan (waktu dan biaya), kita tonton juga film bermutu Indonesia. Catat ya, film bermutu Indonesia!