Thursday, December 10, 2009

Seberapa Kaya Umar bin Khattab?


Kalau mau kaya, baca ini dulu ya, biar jadi orang kaya yang berkah...hehe...

Selama ini, kita hanya mengetahui bahwa hanya ada dua sahabat Rasul yang benar-benar sangat kaya, yaitu Abdurrahman bin Auf dan Ustman bin Affan. Namun sebenarnya, sejarah juga sedikit banyak seperti “mengabaikan” kekayaan yang dipunyai oleh sahabat-sahabat yang lain.

Ingat perkataan Umar bin Khattab bahwa ia tak pernah bisa mengalahkan amal sholeh Abu Bakar? Itu artinya, siapapun tak bisa menandingi jumlah sedekah dan infaqnya Abu Bakar As-Shiddiq.

Lantas, bagaimana dengan kekayaan Umar bin Khattab sendiri? Khalifah setelah Abu Bakar itu dikenal sangat sederhana. Tidur siangnya beralaskan tikar dan batu bata di bawah pohon kurma, dan ia hampir tak pernah makan kenyang, menjaga perasaan rakyatnya. Padahal, Umar adalah seorang yang juga sangat kaya.

Ketika wafat, Umar bin Khattab meninggalkan ladang pertanian sebanyak 70.000 ladang, yang rata-rata harga ladangnya sebesar Rp 160 juta—perkiraan konversi ke dalam rupiah. Itu berarti, Umar meninggalkan warisan sebanyak Rp 11,2 Triliun. Setiap tahun, rata-rata ladang pertanian saat itu menghasilkan Rp 40 juta, berarti Umar mendapatkan penghasilan Rp 2,8 Triliun setiap tahun, atau 233 Miliar sebulan.

Umar ra memiliki 70.000 properti. Umar ra selalu menganjurkan kepada para pejabatnya untuk tidak menghabiskan gajinya untuk dikonsumsi. Melainkan disisakan untuk membeli properti. Agar uang mereka tidak habis hanya untuk dimakan.

Namun begitulah Umar. Ia tetap saja sangat berhati-hati. Harta kekayaannya pun ia pergunakan untuk kepentingan dakwah dan umat. Tak sedikit pun Umar menyombongkan diri dan mempergunakannya untuk sesuatu yang mewah dan berlebihan.

Menjelang akhir kepemimpinan Umar, Ustman bin Affan pernah mengatakan, “Sesungguhnya, sikapmu telah sangat memberatkan siapapun khalifah penggantimu kelak.” Subhanallah! Semoga kita bisa meneladani Umar bin Khattab. (sa/berbagaisumber/Fikih Ekonomi Umar bin Al-Khattab/khalifa)

Saturday, November 28, 2009

Try, wait, and see


Kuminta pada Allah setangkai bunga segar yang indah,
tapi Ia beri kaktus berduri...
Kuminta kupu-kupu indah,
tapi diberinya ulat berbulu...
Kusedih dan kecewa!

Namun kemudian, kaktus itu berbunga indah sekali
Ulat berbulu pun menjadi kupu-kupu yang cantik...

Itulah jalan Allah, indah pada waktunya..
Allah tidak memberi apa yang kita harapkan,
tapi Ia beri apa yang kita butuhkan..

Just try our best, wait with patient, and see what will happen..
If it's not happen now...there will be the best time for it..

Wednesday, November 25, 2009

Labbaik Allahumma Labbaik...


Menjelang Idul Adha, banyak kisah yang menggetarkan hati tentang ibadah wajib kelima ini, kisah-kisah yang menyadarkan bahwa Allah adalah penggenggam jiwa-jiwa kita. Manusia hanya bisa berencana sedangkan Allah yang memiliki skenario terbaik untuk hamba-hambaNya...
Membaca tulisan ini adalah salah satunya, diambil dari
http://www.eramuslim.com/oase-iman/refleksi-haji-orang-yang-belum-berhaji.htm

“Ayah lihat, bagaimana Yah, pantas tidak?”.

”Waah, anggun sekali. Ayah sampai pangling. Semoga kelak jadi kenyataan ya”. Kuraih bahu putra kedua kami. Kucubit kedua pipinya yang lucu. Kupegang dan kuusap kepalanya. Keningnya kuhujani kecupan sayang.

Model kain ihram yang dikenakannya membawa imajinasi saya mengembara sampai ke padang pasir. Padahal, manasik haji yang akan diikutinya esok hanyalah simulasi. Tetapi tak urung, spirit syi’arnya saya rasakan sangat kental. Darah berdesir halus. Rongga dada terasa dialiri hawa hangat. Ada haru di sana. Ada harapan pula di sana.

Meski hanya simulasi, Saya tertegun. Dalam diam saya sampaikan keluhan,”Ya Rabb, bilakah yang sesungguhnya waktu saya datang? Mungkinkah hamba bisa mengunjungi ”rumah”Mu Bitul’Atiiq yang mulia itu? Dengarlah Ya Rabb. Semoga Engkau berikan istithoo’ah bagi hamba untuk menyempurnakan rukunMu”.

Berhaji pastilah impian setiap muslim yang taat. Menyempurnakan rukun Islam pastilah pula cita-cita dalam ketaatan. Masalahnya hanya lima kemungkinan. Niat dan isthithoo’ah yang keduanya belum sampai. Niat dan keinginan sudah ada, tetapi istithoo’ah yang belum sampai. Isthitoa’ah sudah sampai, tetapi niat belum menjadi ’azam yang kuat. Niat dan isthithoo’ah datang bersamaan tapi takdir menghalanginya ke tanah suci, seperti kuota yang tak tersisa atau kematian yang datang lebih dulu di perjalanan. Dan kemungkinan kelima apabila niat dan isthithoo’ah datang bersamaan dan takdir membawanya ke tanah suci.

Ada saja orang muslim yang tidak menyadari bahwa ia begitu mudahnya diberikan kesempatan oleh Allah untuk memenuhi panggilanNya berhaji, tetapi ia abaikan begitu saja hanya karena alasan masih muda, atau takut tidak kuat ”membawa” hajinya kelak atau masih senang dengan urusan ini dan itu. Sebuah alasan yang tidak masuk dalam kriteria uzur syar’i. Allah memberinya rumah yang elok. Kendaraan yang nyaman. Kedudukan dan penghasilan yang begitu mentereng. Dan fisik masih bugar serta menawan.

Sementara begitu banyak hati yang telah penuh kerinduannya kepada Baitullah, tetapi ia masih harus menundanya untuk beberapa waktu atau entah sampai kapan kerinduannya terpuaskan. Sampai seolah putus asa hingga mengubur keinginannya itu dalam-dalam.

Enggan berhaji dengan alasan masih muda justru sangat aneh. Bahkan semestinya merasa beruntung dapat berhaji di saat usia masih muda dan kekuatan fisik masih prima. Sebab haji merupakan ibadah yang melibatkan hampir seluruh daya dan kesanggupan yang bukan hanya bersifat moril dan materil tapi juga kesiapan badaniyah. Tanyakanlah pada yang sudah perihal thawaf, wukuf, sa’i, melontar jumrah, suhu dingin atau panas yang ekstrem dan belum lagi berdesak-desakan dengan jutaan manusia. Mengapa tidak memanfaatkan masa muda untuk ibadah yang memang menuntut fisik yang prima? Apakah menunggu saatnya semua persendian menjadi rapuh dan terasa ngilu dimakan usia? Atau paru-paru yang tak lagi kuasa menahan angin dingin atau panas dengan batuk yang membandel? Atau menunggu nafas naik turun padahal baru beberapa meter kaki dibawa melangkah?

Berhati-hatilah, alasan takut tidak kuat ”membawa” hajinya kelak atau masih senang dengan urusan ini dan itu, jangan-jangan itu hanya mencari helah atas kewajiban kepada Allah. Sama halnya dengan orang yang mengatakan,”gimana mau sholat, wong hati saja belum tenang memikirkan kebutuhan ini itu”.

Kemampuan menata dan memelihara diri bukanlah datang secara tiba-tiba. Orang menjadi dekat kepada Allah dan sanggup memelihara kesuciannya bukan tanpa usaha. Tetapi semuanya dilakukan dengan kesadaran dan mujahadah sepanjang waktu tanpa henti. Bagaimana mau mempertanggungjawabkan ”predikat” hajinya, jika niatnya saja enggan. Bagaimana hati mau tenang, sedangkan shalat sebagai sumber ketenangan saja enggan didirikan.

Memang bukan berita bohong, bahwa ada Pak Haji yang masih doyan judi. Yang masih suka mencuri juga ada. Bahkan yang masih genit menggoda dan merayu bahkan merebut isteri orang juga ada. Sama halnya orang yang rajin sholat juga rajin korupsinya. Tapi jumlah Pak Haji dan mushalli yang taat juga banyak, mengapa tidak berkaca kepada mereka? Jika kita berkaca kepada pada cermin yang buram, buram pula kelihatan wajah kita. Tetapi berkaca pada cermin yang jernih, maka jernih pula bayangan wajah kita.

Saya teringat cerita dari mulut ke mulut yang santer tentang majlis Buya Hamka. Satu saat beliau ditanya dalam sebuah ta’lim:

”Buya, di komplek kami ada orang yang sudah berkali-kali naik haji. Ibadahnya bagus. Jama’ah dan ta’limnya tidak ketinggalan. Tapi pelitnya tidak karuan. Jangankan dengan tetangga, dengan anak dan isterinya saja kejam, terutama soal belanja. Tapi, tetangga kami yang dokter jangankan haji, maaf, sholatnya juga jarang. Jama’ah tidak pernah kelihatan padahal dekat masjid. Tapi dermawannya luar biasa. Setiap hari ada saja sedekah yang diberikan, terutama untuk anak-anak yatim dan orang miskin. Kami mau tanya, siapa yang lebih baik di antara mereka. Apakah Pak Haji yang rajin ibadah tapi pelit dan kejam atau dokter yang tidak rajin ibadah sholat tapi dermawan?”.

Sesungguhnya pertanyaan demikian mewakili setiap orang. Ambiguitas nilai antara simbol ibadah dengan realitas aksi seolah bertabrakan dan banyak dipertanyakan. Hingga banyak orang jahil menuruti kebodohannya dengan berdalih untuk apa sholat, yang sholat saja korupsi.

Seperti ada kesenjangan antara syariat dengan hakikat. Seperti pertarungan antara kejujuran dengan kebohongan yang masing-masing bersumpah atas nama Tuhan. Tentu tidak membingungkan apabila keduanya jujur. Yang satu bersumpah atas nama Tuhan bahwa ia jujur. Dan yang satu lagi menyebut nama Tuhan, jujur bahwa ia telah berbohong.

Buya Hamka menjawab tidak dengan jawaban hitam-putih, melainkan dengan kearifan dan kedalaman perspektif:

”Andaikan tetangga Ibu yang satu itu belum berhaji dan tidak juga rajin shalatnya, tentu dia akan lebih pelit dan lebih kejam dari apa yang Ibu lihat hari ini. Dan andaikan tetangga Ibu yang dokter itu rajin shalat dan sudah berhaji pula, maka ia akan jauh lebih dermawan dari apa yang Ibu saksikan hari ini”.

Tentu jika cerita tentang ta’lim Buya Hamka ini benar, maka Buya lah yang paling mengerti maksud jawabannya itu. Tetapi dalam banyak keterangan sering kita jumpai bahwa kita dianjurkan mengiringi perbuatan buruk dengan kebaikan sebab dapat menghapuskannya. Ada juga ketegasan bahwa shalat dapat mencegah perbuatan keji dan munkar.

Semangat yang mestinya ditangkap dari pesan tersebut adalah bahwa, semua aktivitas ibadah yang dikerjakan harus menjadi daya dorong bagi pelakunya untuk menjadi lebih baik. Shalat, puasa, zakat dan haji semestinya mengubah perilaku pelit menjadi dermawan, dendam menjadi pemaaf, takabbur menjadi tawaddhu, tamak menjadi qona’ah, kasar menjadi santun dan berbudi. Sebab itulah tahap kedua setelah takbir, ruku, sujud, mengulurkan tangan, melafalkan talbiyah, sa’i, wukuf, jumroh dan tahallul sebagai simbol pertama ibadah itu ditunaikan.

Perubahan ke arah positif sebagai efek dari ibadah ritual banyak bergantung pada seberapa besar penghayatan setiap orang terhadap ibadah yang dikerjakannya itu. Apakah sebatas simbol dan sekedar menggugurkan kewajiban, ataukah berusaha menjadikannya sebagai untaian mutiara iman yang menyatukan antara hakikat di balik simbol di mana ketaatan pada nilai-nilai ritual itu harus diwujudkan dalam ranah sosial.

Sebab, haji sendiri juga ada diperkenalkan idiom ”mabrur” sebagai simbol haji yang diterima dan layak mendapatkan surga. Tentu yang kesabaran, ketaqwaan, kedermawanan dan segala atribut ketaan dan kesalehannya lebih melambung dari sebelum ia pulang dari tanah suci. Ini berarti pula ada haji yang ”mabur” yang tidak bernilai apa-apa di hadapan penguasa Baitullah. Bisa jadi karena niatnya bukan untuk ”memenuhi panggilan Allah” tapi untuk memenuhi ”segala hajatnya” yang dibawanya dari tanah air. Allahu a’lam.

Depok, November 2009.

Saat melihat kain ihram berkelebat dari tubuh mungil Rayyan kusebut untuk semua tamu Allah, semoga menjadi mabrur. Aamiin.

abdul_mutaqin@yahoo.

Friday, November 20, 2009

2012

Heboh sekali isu 2012 akan terjadi kiamat. Filmnya juga jadi perbincangan dimana2, tapi taukah kita, bahwa penghembus isu itu sendiri, malah tertawa-tawa melihat orang lain yang seperti orang kebakaran jenggot mendengar isu itu?
Kita sebagai orang muslim tentunya harus berpegang teguh pada Al Quran dan Sunnah Rasulullah SAW. Dalam Al Quran tidak disebutkan pastinya, kapan kiamat itu akan datang. Satu hal yang pasti adalah kiamat itu akan datang. Entah kapan waktunya, yang penting adalah kita siap menghadapinya. Lagipula, akhir hidup kita kan belum tentu kiamat. Besar kemungkinan kita akan mengakhiri napas kehidupan justru ketika kiamat itu belum tiba.
Bagi saya, bukan masalah 2012 yang memang tinggal 3 tahun lagi, tapi bagaimana kita mempersiapkan diri menghadapi akhir hidup kita. Jadi, jika saat itu tiba, entah hari ini, esok atau kapanpun, kita akan mempersembahkan yang terbaik. Amiin.

Monday, November 16, 2009

Hilang

Perasaan tak menentu jika bayangan kehilangan itu terasa dekat. Walaupun belum pasti, namun jika rasa itu datang, walaupun sekejap, rasanya sakiiit sekali. Memang kehilangan juga merupakan hal yg pasti akan dirasakan setiap manusia. Tapi yah, perasaan berat jg jika mengalaminya.
Yakin ah, pasti ada hikmah dalam setiap kejadian...

Thursday, November 12, 2009

Bukan...

Bukan karena lebih atau sudah mampu,
Bukan hal yang dapat dipelajari
Bukan pula karena sudah siap
Namun karena memang sudah waktunya

Monday, November 9, 2009

Akhirnya datang juga

Alhamdulillah, setelah sekian lama (feels like years), saya nggak ngerasain hujan, Jumat kemarin akhirnya saya ngerasain juga hujan2an di motor. Nggak lama dan nggak deras sih, tapi rasanya, seneeeeng banget. Akhirnya ngerasain lagi jalanan pada becek, motor dekil kena cepretan becek, kacamata bintik2 kena air hujan. Kangen hujan...yup...kalo dulu masih di Bogor, nggak sempet tuh ngerasain kangen sama sang hujan. Tapi alhamdulillah, disini bisa ngerasain juga kangen sama hujan. Memang benar ya, nikmat itu bener2 terasa dan bisa disyukuri kalo ada kurang2nya. Kalo tiap hari hujan, wah, yang ada, saya suka ngomong gini, "Yaah, hujan!".
Mudah2an masih ada hujan yang bisa dirasain mulai sekarang. Amiin.
Ya Allah, jangan bosan memberi kami hujan ya...:)

Thursday, November 5, 2009

Lampu merah

Setiap pulang ke rumah dari arah Cilegon, hampir selalu lewat lampu merah di depan LIA. Itu kan bunderan, jadi ada arah yang ke kanan dan yang lurus. Kalau ke kanan, kita harus sabar nunggu lampu jadi hijau, tapi kalau lurus, sebenarnya kita bisa langsung aja. Tapi sering juga, ada mobil yang sbenernya mau lurus, tp nungguin lampu jadi hijau (biasanya mobil dari luar kota Cilegon, plat B, D, F, dll). Akibatnya, kita yang orang lokal, jadi suka bete en kesel. Kalau motor sih, bisa aja nyelip2 trus lewat, tapi kalau mobil, yah, kudu nunggu sampe lampu jadi hijau.
Hehehe, lucu yah, jangan2 para supir mobil yang dilewati motor (hasil nyelip2), berpikir gini, "Itu motor2, apa nggak liat, lampunya kan ijo!".
Padahal...

Pengalaman baru

Whuaaa, akhirnya punya blog juga, walaupun gak punya koneksi internet di rumah, tapi pengen punya blog, akhirnya curi-curi waktu di sekolah pas anak-anak pulang buat bikin blog. Pengalaman baru yang menegangkan(karena curi-curi), tapi seru!
Ceritanya pengen banget punya blog, karena kalau dipikir-pikir, aku punya banyak pengalaman berharga yang bisa di-share (sesederhana apapun). Mudah-mudahan banyak mengambil manfaat dari blog ini yah...amiin