Wednesday, October 28, 2015

Simple Happiness

Dalam hidup, memang sering kali ada hal-hal yang tidak terduga terjadi. Bukan hal besar biasanya, tidak langsung mengubah hidup kita yang tadinya miskin papa menyedihkan menjadi kaya raya bergelimang harta atau sebaliknya. Hal-hal spektakuler begitu, bisa saja terjadi tentu, tapi dalam kehidupan nyata, berlaku sunnatullah, bahwa jika ingin sukses, hendaklah berusaha dan berdoa sungguh-sungguh. Berusaha saja tidak akan pernah cukup begitu pun, berdoa tanpa berusaha, hanya dilakukan oleh para pemimpi. Merasa senang hanya ketika tertidur dan terbangun dengan rasa hampa yang teramat. Berharap kembali tidur dan memimpikan hal yang sama. Ketika tidur, malah mimpi dikejar-kejar monster hendak dimangsa.

Simple things that made my day happened today. I woke up like usual and did my daily job at home before go to work. I’m not sure what delayed me, but I went to work later than I usually do. Being in a hurry isn’t fine actually. Trust me!

Hingga sebuah kejadian menarik terjadi. Saya bertemu seorang teman lama yang kini juga menjadi dosen di kampus yang sama dengan saya bekerja. Kami mengobrol seru (that’s already made my day) walaupun dengan posisi berdiri karena nggak kebagian tempat duduk. Lalu, pak dosen mentraktir saya ongkos naik bis sambil bercanda bilang, akan ditagihkan ke kepala UPT tempat saya bekerja. Lalu berbagilah kami cerita ringan menyenangkan lainnya. Sampai kantor, disambung dengan kabar gembira (walau belum pasti juga sih) dari seorang teman melalui sebuah pesan telegram, bahwa kami akan menerima SK dalam waktu dekat. Semoga ini sungguhan terjadi. Hal menyenangkan lainnya terjadi ketika menjelang dhuhur ada teman membawakan kue bolu gulung bertabur keju yang nikmat. Adzan dhuhur berkumandang dan ketika saya melangkahkan kaki ke dalam masjid, ada pemandangan area shalat untuk muslimah diperluas dan juga lebih terang.
Oh, hidup itu indah bukan?

Friday, October 23, 2015

NaNoWriMo

Based on the dictionary.com, consistency means
  • a degree of density, firmness, viscosity, etc.:
  • steadfast adherence to the same principles, course, form, etc.:
  • agreement, harmony, or compatibility, especially correspondence or uniformity among the parts of a complex thing:
  • the condition of cohering or holding together and retaining form; solidity or firmness.

Let me tell you, consistency is a thing that I’m learning of, working in, and it never yet finished. Many things happen with which in the end, I know that the main problem is consistency. My consistency is worse than bad, sad to say. I can be very excited for a thing and in short term the condition can be upside down. I could feel nothing about the things I was excited about. Stop doing it and just don’t feel the emotion.

One thing I really excited about and still have the emotion until now, is writing. I have something for having novel, but my consistency doesn’t help me at all. How can I have a novel if I never write it?
One day, my friend introduced me to NaNoWriMo. What is it? It’s an independent organization for writer or writer wannabe all over the world to help them writing consistently. In November, they have a novel writing competition. What makes it more interesting is that the languages used by the writer consist of many different languages. Everyone can participate in the competition and also can win it. How can? Yes, absolutely! Actually, all writers here is compete against themselves. Compete to defeat their lack of consistency, experience, and many untold reasons.

Anyway, I have been part of NaNoWriMo since three years ago and not even a word written. What a shame!

This year, nearly a week after, I've decided to join the competition and hopefully I can win it. Wish me luck!

Wednesday, October 21, 2015

Mendaki, Menemukan Jati Diri


Saya menyukai kegiatan yang menguras energi (energi ya, bukan emosi) dan menantang. Kegiatan yang juga sekaligus detoksifikasi diri saya dari kejenuhan maupun dalam arti sesungguhnya, mengeluarkan racun-racun dalam tubuh lewat keringat. Salah satu kegiatan yang saya suka adalah mendaki gunung, di samping bersepeda dan lari pagi.

Selama ini, ketika membaca tulisan orang tentang pengalaman mereka mendaki gunung, saya terkesima dengan betapa hebat perjuangan mereka untuk menuju puncak. Ketika saya melakukan perjalanan itu sendiri, saya memahami bahwa puncak bukanlah segalanya. Memang rasa bahagia ketika berhasil menggapai puncak adalah perasaan yang tidak terukur. Banyak sekali pengorbanan yang harus dilalui di samping indahnya pemandangan yang disuguhkan oleh-Nya. Menggendong tas carrier berisi segala macam keperluan, melawan rasa lelah, menyambung napas yang tersengal, menghadapi karakter teman sesama pendaki yang beraneka rupa, mengatasi udara dingin apalagi ketika hujan, sungguh bukan hal yang mudah. Ketika dengan segala tantangan itu, lalu kita memutuskan tetap bertahan hingga mencapai puncak, maka sesungguhnya yang berhasil ditaklukkan adalah diri sendiri. Pun, ketika tidak lagi melanjutkan pendakian dan memutuskan kembali turun, bukan berarti gagal. Bisa jadi itu adalah upaya mengalahkan ego diri. Ego bahwa setiap pendakian harus diwarnai dengan menikmati pemandangan di puncak.

Seperti kata hampir semua teman saya, dalam setiap pendakian, bukan puncak yang ditaklukkan. Pokok pelajaran dalam pendakian atau perjalanan yang kita lakukan adalah bagaimana menemukan diri sendiri. Jika dalam keseharian, kita sering lupa melihat ke dalam diri kita, maka alam melalui perjalanan yang akan membantu menemukan jati diri kita. Maka, lakukanlah pendakian untuk mengukur diri, bukan hanya kekuatan fisik, namun juga kekuatan batin.

Monday, October 19, 2015

Peduli itu...

Sebagai jomblo senior dan berpengalaman *gaya*, saya tentu sudah sering menanggapi pertanyaan :
  1. “Udah nikah belum?” Ketika saya jawab, “Belum”, maka percakapan menyebalkan berlanjut ke
  2. “Kapan nikah?” atau…
  3. “Kok belum nikah?” bisa juga…
  4. “Pilih-pilih sih ya?”
  5. dan sebagainya.
Serta berbagai bentuk pertanyaan senada yang memuakkan pada awalnya tapi semakin lama mendengarnya, jadi terasa bagai angin lalu. Ya lah, bagaimana pun juga saya nggak akan pernah bisa mengendalikan apa yang akan dikeluarkan orang dari mulutnya. Istilah mulutmu harimaumu tidak berlaku untuk semua orang. They don’t even know that it exists. Semua bentuk pertanyaan di atas sebenernya sih sama-sama menyebalkan tapi dengan kadar yang berbeda.

Nah, pertanyaan yang terakhir biasanya saya jawab, “Apa yang mau dipilih?” dan percakapan itu berlanjut dengan tawa kami. Iya, menertawakan saya tentu. Padahal dalam hati saya, masak iya saya nggak pilih-pilih, beli bakwan yang sekali lahap habis saja, saya memilih yang masih hangat, ukurannya cukup besar, dan tidak terlalu kering, misalnya. Tentu untuk pernikahan yang diharapkan sekali seumur hidup, saya harus juga punya kriteria, walau belum tentu pria yang memenuhi kriteria saya, berminat dengan saya. *tertawa miris* *sigh*

Dari berbagai jenis manusia yang saya temui dan menanyakan pertanyaan “neraka” itu (lebay deh), saya bisa mengetahui apakah orang ini benar-benar peduli atau sekedar iseng bertanya. Malangnya, sebagian besar orang yang saya temui menanyakan pertanyaan itu sekedar iseng atau untuk bahkan menjadikan status saya bahan untuk tertawaan. Ada juga orang yang benar-benar peduli. Mereka ini justru tidak banyak bertanya. Bahkan, walau kadang mereka sangat ingin mengetahui, pertanyaan langsung tidak akan terlontar. Mereka memilih untuk menyelidik sendiri. Tujuannya tentu saja untuk menjaga perasaan saya agar tidak tersinggung atau merasa canggung. Jika saya bertemu orang-orang yang benar-benar peduli seperti ini, maka saya pun akan berusaha menjaga perasaan mereka. Otomatis saja terjadi.

Bagaimana dengan mereka yang banyak bertanya padahal sesungguhnya tidak peduli? Pada umumnya saya tetap akan bersikap baik. Lupakan saja tawa mereka karena “perbedaan prinsip” kami, yang penting saya berusaha tidak melakukan hal yang sama dengan mereka sehingga menempatkan saya menjadi sama dengan mereka. It’s fine if they think different with me. They don’t live my life and I don’t live theirs.

Thursday, October 15, 2015

...dan begitulah akhirnya.

Semua orang tidak akan tahu akhir jalan hidupnya. Jangankan akhir hidup, apa saja yang akan terjadi hari ini, peristiwa satu jam yang akan datang, atau sedetik kemudian, siapa yang tahu? Kecuali jika kita adalah cenayang, bocah indigo, atau semacamnya. Ah, jika Anda termasuk bagian dari golongan manusia itu, maka Anda perlu mengunjungi peruqyah syar'i terdekat untuk diruqyah. *seriously*

Sekali lagi diingatkan bahwa hidup ini akan berakhir. Giliran semakin dekat, tidak pernah malah menjauh. Sebaik, sehebat apapun, setiap orang akan menghadapi akhir hidupnya. Pun begitu, tidak pernah bijak jika hanya menanti datangnya tanpa berbuat apa-apa. Nikmatilah hidup dengan bijak karena suatu hari, ketika matahari masih bersinar cerah, langit tergelar indah, dan angin semilir mengusir gerah, itu semua tidak berarti, karena sang akhir menghampiri.

Pada akhirnya, ini adalah tentang siapa kita ketika jiwa masih mengisi raga, bukan hanya bagi diri sendiri, tapi orang lain, dan Sang Maha Segala. Bahwa hidup bukan hanya tentang diri sendiri, tapi bagaimana menghargai dan menyayangi orang lain karena entah siapa yang akan lebih dulu mendekati akhir.

"Tenang saja, Bapak orang baik insya Allah." 
...dan begitulah akhirnya. *glassy eyes*

Tuesday, October 13, 2015

Oh man, I Missed the Bus!

Yesterday morning, while I was walking to the bus stop. Well, actually it's not bus stop. It's just a place where I usually stop buses. There are no real bus stop here, anyway. People can stop almost any bus they want anywhere. When I was walking fast while talking to myself like usual, then I saw a bus passed by. "Oh, man, I missed the bus!" I again talked to myself. It hurts, you know. It's not nice at all when I had to make another wait for unpredictable time. It meant I have to stand beside the dusty smokey road to wait for another available bus. One, two, five minutes, waited while paying attention to people pass by is quite nice actually if I wasn't in a hurry, but I have to be in the office immediately if I don't want to be late. This is my conscience every morning, five days a week. Then, the miracle happened (I know that it sometimes happens) to me. I saw a bus! It's not common bus! It's a bus to a certain city, a bus which is known for its speed! I froze for a second then realize, "Hey, it can take me faster than any other bus, yeah!" And as predicted, it took me so very fast. I arrived ten minutes early than the punctual time. Wonderful!

So, sometimes, we just so stressful in whining something we miss in life. It could be a job, business, someone we thought he/she is the one but then he/she marry to another person but us. We were so busy to think that, why I didn't do this, that, and many other regrets, while actually, long after, there are better scenario served for us. All the regretful things, sadness tears, can be our lesson for the next step of life. Remember that we live not only for today or yesterday. The most important thing is, we live for a better future.

Sunday, October 11, 2015

Nice Friends, Nice Chat, Wonderful Life

Pagi ini, setelah menyelesaikan tugas Cinderella saya membersihkan rumah, barulah saya aktifkan telepon genggam. Pada multichat BBM, terpampang foto seorang teman kuliah yang baru saja memasuki babak baru kehidupannya sebagai seorang abdi negara. Terlihat ceria. Senang melihatnya.
Ternyata, selama handphone saya "tertidur", sudah tercipta perbincangan antara dua orang teman saya, Kriuk! dan Coldy. Lalu selama sekitar satu jam, terjadilah multichat yang sebenarnya tidak bermutu namun menyenangkan itu. Kami bertukar kabar, bertukar pikiran, bertukar tips, serta bertukar lelucon. Hingga sampailah pada percakapan yang menyangkut status kami sebagai jombloers. Inilah bagian yang paling seru, mengingat di antara teman-teman kampus yang satu aktivitas di DKM, tinggal kami bertigalah yang masih melajang. Bukan betah, tapi addicted. Ini versi saya. Entah versi kedua teman saya itu. Bersama teman yang asyik, perbincangan yang sebenarnya tragis, menjadi ceria penuh tawa.


A friend in need is a friend indeed. 

Friday, October 9, 2015

Menghirup Dedak

Malam kemarin, di grup whatsapp teman kuliah saya, seorang teman yang masih aktif di kampus karena menjadi salah satu tenaga pengajar disana, memposting gambar seorang pria yang pernah mendidik kami semua di kampus. Bapak dosen kami yang ganteng dan suka menyelipkan celetukan ala stand up comedy (pendengar tertawa spontan, yang melucu tetap berwajah datar) ketika memberi kuliah di kelas. Pak dosen kami ini sekarang sudah bergelar guru besar. Selamat ya, Pak! Dalam foto itu, terlihat pak dosen sedang menghadiri sebuah acara bincang-bincang di salah satu stasiun televisi swasta. Beliau menjadi pembicara ahli tentang asap dan kebakaran hutan di Pulau Sumatra dan Kalimantan. Saya tidak akan membahas apa isi acara tersebut, karena saya pun tidak menyaksikannya. Perbincangan dengan topik serupa kemudian berpindah ke grup kami. Berbagai nada nyinyir dan kecewa terhadap tindakan presiden pun terlontar. Ucapan pak presiden yang meremehkan masalah ini membuat kami meradang, padahal sebagian besar dari kami tidak tinggal di wilayah berasap itu. Sungguh, kami ini orang kehutanan atau setidaknya pernah kuliah di Fakultas Kehutanan terbaik di nusantara. Ucapan presiden bahwa masalah asap ini gampang diatasi, sungguh membuat kami sedih. Presiden macam apa yang tidak hati-hati bicara dan bicara tidak dengan hati?

Seorang kawan di Jambi mengeluh bahwa sudah dalam hitungan bulan, Jambi diselimuti kabut asap yang menyesakkan. Teman saya ini bilang, "Napas serasa menghirup dedak, upil penuh abu, mata belek debu, tenggorokan serasa perlu disapu." Tanpa perlu merasakan langsung pun, deskripsi seperti itu sudah membuat sesak. Alhamdulillah, Jambi sudah bisa sedikit bernapas lega sekarang, berkat hujan yang diturunkan Allah dalam beberapa hari ini. Selalu, manusia yang membuat kerusakan, Dia yang menyelesaikan. Lain Jambi, lain pula Riau. Teman lain yang tinggal di Riau, menginfokan bahwa di pagi hari, visibilitas hanya sekitar 10-20 meter. Innalillahi...

Ada ajakan teman di Kalimantan Selatan untuk "berlibur" di Sumatra dan Kalimantan selama dua hari untuk "menikmati" asap. Saya langsung berkomentar, "Jangankan dua hari, ada tetangga bakar sampah dan asapnya masuk rumah aja rasanya udah sebel." Padahal durasi asap dari bakaran sampah tetangga, nggak sampai satu jam, kan?

Semoga hujan semakin sering turun dan menghapus asap yang menyakiti saudara-saudara kami. Mudah-mudahan pemerintah mampu bertindak tegas terhadap para pembakar hutan, sehingga peristiwa kebakaran hutan yang merugikan dan memalukan ini tidak lagi terjadi di kemudian hari.

Thursday, October 8, 2015

Nothing lasts forever

Nothing lasts forever. Everything is change and the only one that is eternal is the change itself.

Entah quote siapakah itu. Tiba-tiba saja otak saya yang sering kali merandom, teringat akan quote itu. Sejatinya, sungguh segala hal itu akan berubah. Justru bagi orang-orang yang anti perubahan akan terlindas oleh waktu yang senantiasa mengubah segala hal menjadi sungguh luar biasa atau sebaliknya. Terkadang, perubahan itu sendiri tidak serta merta terasa. Misalnya, pohon di pinggir jalan yang ditebang karena sudah terlalu besar dan membahayakan. Adanya tidak pernah disyukuri namun ketika hilang, barulah banyak orang menyayangkan ketidakhadirannya.

Ada lagi, dulu jalan utama di kota saya tidak memiliki pagar pembatas antar lalu lintas yang berbeda arah. Setiap kendaraan bebas memutar atau berbelok sesuka hati. Begitu pun para pejalan kaki, dengan enaknya dapat menyeberang dimana pun mereka suka. Sekarang tidak lagi, sejak ada pagar penghalang, perubahan pun terjadi. Sudah tidak sebebas dulu lagi, namun orang jadi jauh lebih berhati-hati dan teratur dalam menggunakan jalan.

Dalam kehidupan kita pun begitu, selalu ada pohon di tepi jalan yang membuat nyaman orang-orang yang lewat untuk sekedar berdiri menunggu teman atau menikmati semangkuk bakso sambil melepas lelah. Ada orang-orang yang membuat kita nyaman dekat dengannya. Keluarga, sahabat atau teman yang selalu ada ketika kita membutuhkan, layaknya pohon peneduh jalan dan ketika mereka pergi sekedar untuk beberapa saat atau selamanya, barulah kita menyadari betapa berharganya mereka. Tidak ada lagi tempat berkeluh kesah atau berbagi kebahagiaan.

Pagar pembatas dalam kehidupan kita, biasanya berupa aturan atau norma-norma yang berlaku di sekeliling kita. Segala sesuatu yang tadinya bisa-bisa saja kita nikmati, ketika kita mengetahui bahwa hal itu tidak lazim atau bahkan tidak boleh dilakukan, maka perubahan itu seharusnya membuat kita lebih berhati-hati.

Tuesday, October 6, 2015

Perfection is Simple

Everybody has their own standard of perfection. I have too, but for me, my standard of perfection is simple.

Some people think, perfection is when they meet their friends and have a nice conversation about their life. Knowing each other better after long time no see or finding solution of problems they're facing. 

Delicious foods and drinks also perfection for some people. For people who live in poverty, having meals to eat is more than perfect to face their day.

Adventurous travel of mountain hike, or sea diving is perfect trip for some people. Some other like to have chic travel with shopping and glamorous places to visit. For many other, having any of the trips without people they love is not perfect at all. 

Everybody has their own grade of perfection and wherever is yours, it never perfect until you have it with gratitude. That's the key of perfection.

Monday, October 5, 2015

Para Jomblo Keren

Saya baru tersadar satu hal ketika saya bersepeda kemarin sore. Beberapa tenda aneka warna berdiri dengan cantiknya di jalan-jalan. Tidak lupa tulisan, "Dilarang masuk kecuali undangan."
Yak! Ini musim menikah! Musim yang diprediksi akan hadir setelah lebaran haji atau Idul Adha. Ada pula yang bilang lebaran "mbek". Musim ini jauh lebih pasti dibanding musim hujan, musim duren, musim rambutan, atau musim buah lainnya. Pada musim ini, banyak yang berbahagia, ada pula yang biasa saja atau justru memelas. Kalau saya, masuk golongan mana? Saya bisa masuk golongan yang ikut berbahagia, bisa juga biasa saja, atau memelas. Ikut berbahagia ketika ada teman saya yang ikut menikah pada musim itu. Biasa saja karena saya tidak merasa dirugikan atau diuntungkan. Kalau memelas, nah ini kayaknya nggak deh. Setidaknya saya berharap semoga pada musim apapun saya akan selalu dalam keadaan bersyukur. Aamiin

Kali ini sungguh saya bukan akan membahas tentang musim fenomenal yang satu ini. Ide ini juga tiba-tiba muncul ketika saya bersepeda kemarin. Sungguh, berolah raga membuat pikiran semakin cemerlang. Sebagai seorang jomblo berpengalaman, tentunya saya juga punya beberapa teman yang tidak kalah jomblonya dengan saya eh, salah. Tidak kalah berpengalaman sebagai jomblo dengan saya. Mereka ini adalah para jomblo keren atau high quality jomblo. Ini adalah spesies manusia yang saya rasa sungguh klop dengan saya. Terutama untuk urusan jalan-jalan.

Saya punya seorang teman yang saya kenal karena dulu kami pernah jualan jus di hari Ahad pagi. Tentu sekarang tidak lagi, karena bertahun lalu, kami disibukkan dengan urusan kuliah dan hal lain. Skip skip...
Teman saya ini, super banget menurut saya. Pada masa krisis seperti sekarang, she decided to resign from her job. Iya, berhenti bekerja dan merencanakan sebuah apotek kecil miliknya sendiri dengan keahliannya. Saya sungguh terpana ketika suatu malam kami saling berkirim teks. Baginya, kemandirian bukan sekedar lipservice.

Jomblo kedua yang juga keren menurut saya adalah seorang teman, kakak kelas sebenarnya. Satu tingkat di atas saya. Mbak ini mampu menjawab banyak sekali pertanyaan saya atau siapapun yang bertanya padanya. Mbak ini dengan gagah berani membuka sebuah bimbingan belajar kecil di rumahnya bersama tiga orang temannya. Selain itu, mbak ini juga membuat sebuah event organizer. Kadang entah karena alasan apa, saya sungguh terpesona dengan kemampuannya mendengar (membaca karena sekarang kami lebih banyak berkirim teks) permasalahan orang lain dan memberikan berbagai solusi menyegarkan.

Jomblo lainnya yang tidak kalah keren, yaitu kakak saya sendiri. Perkenalkan, hehe. Mbak saya nih adalah sosok perempuan yang berani, mandiri, tegar, dan pemurah. Bahkan kami sebagai adik-adiknya, bohong jika kami tidak merasa berhutang budi padanya. Apalagi kedua saudara laki-laki saya. Mbak saya nih, mengambil peran sebagai kepala keluarga sejak bapak menutup usia lebih dari 13 tahun yang lalu.

Tentu saja mereka ini adalah jomblo-jomblo keren versi saya dan pada sisi kekuatan mereka masing-masing. Saya belajar banyak hal dari mereka dan menjadikan sisi kekuatan mereka sebagai panutan bagi saya. Sekeren apapun jomblo-jomblo versi saya, tetep sih saya berharap mereka akan segera mengakhiri masa jomblonya. Aamiin.
Seorang jomblo yang keren, tentu akan menjadi lebih hebat jika dia menjadi seorang istri atau ibu. *uhuk!*

Oh ya, btw selamat ulang tahun TNI yang ke-70. Atraksi alutsistanya keren deh!

Thursday, October 1, 2015

Ayo, Naik Bis!

Sejak bulan September kemarin, saya mulai bekerja di tempat yang baru. Memulai pekerjaan baru setelah hampir sembilan tahun menjadi guru, sungguh luar biasa. Luar biasa menyita energi daaaan emosi (hahaha). Saya selalu membanding-bandingkan iklim kerja ketika saya jadi guru dengan saat ini. Bukannya saya tidak bersyukur, karena di satu sisi, banyak orang yang rela membayar untuk menduduki posisi saya sekarang (cieee...), tapi begitulah yang terjadi jika sekian lama kita menggeluti suatu hal, bahkan mencintainya lalu berubah haluan. Sadar atau tidak, tentu akan ada perbandingan. Oke, sebutlah itu sebagai masa adaptasi. Sampai kapan masa adaptasi itu? Let's see then...

Nah, dengan saya memulai pekerjaan baru ini, maka siklus hidup saya pun berubah sedikit (gaya, hehe). Kalau biasanya saya bermotor pergi dan pulang dari sekolah, kali ini saya menumpang bis untuk pergi dan pulang kerja. Kenapa? Emang nggak bisa kalo bermotor? Bisa aja sih, bahkan lebih hemat, tapi kalo dipikir-pikir, setiap hari bermotor selama satu jam lebih pergi pulang sungguh akan sangat melelahkan. Jika sekali waktu, saya sedang ingin bermotor, bolehlah. Lagipula, dengan menumpang bis, banyak keuntungan yang bisa didapat. Saya jadi ingat, beberapa tahun lalu, ketika saya masih duduk di bangku SMA. Waktu itu, tidak ada pilihan lain, saya memang harus menumpang bis setiap hari, dari Senin hingga Sabtu. Berangkat kurang dari jam 6 pagi dan pulang siang hari. Senang sekali saat itu karena banyak teman yang berangkat bersama-sama.

Ini adalah beberapa keuntungan menumpang bis :
  1. Mengurangi polusi udara. Bayangkan kalo sebanyak 40 orang yang bermotor setiap hari, Senin hingga Jumat beralih menjadi penumpang bis, maka udara kita akan lebih layak dan segar, kan?
  2. Kemacetan lalu lintas akan berkurang. Masih 40 orang yang tadinya bermotor, memilih untuk naik bis setiap hari, maka sebanyak 40 motor akan berkurang di jalan raya. Belum lagi kalau lebih dari 40 orang pemotor ditambah lebih banyak lagi orang yang bermobil memilih menumpang bis.   
  3. Bisa beristirahat di dalam bis. Secara pribadi, saya suka meluangkan waktu di bis untuk melakukan hal-hal yang belum saya lakukan di rumah karena harus bersegera mempersiapkan diri untuk berangkat. Jadi, selama perjalanan di dalam bis, saya bisa luangkan waktu untuk tidur jika mengantuk, tilawah jika posisi memungkinkan, dan menjawab pesan di whatsapp, BBM atau SMS.
  4. Mendapat aneka pengalaman. Ketika berada di dalam bis, bertemu dengan banyak orang yang bisa jadi berbeda setiap harinya, kadang memberikan nuansa baru di hati, melihat para penumpang lain, pengamen, pedagang asongan yang menjalani hidup dengan cara mereka masing-masing. Tidak jarang juga menambah rasa syukur atas rizki yang diberikan Allah pada saya.
  5. Belajar mengatur waktu dengan lebih bijak. Nah, ini bagian yang paling sulit. Sering kali, keadaan tidak seperti yang telah direncanakan. Misalnya, saya sudah berangkat lebih awal dari biasanya, tapi bis tidak kunjung datang, maka saya tidak akan sampai tujuan lebih pagi. Alih-alih kesal, lebih baik saya menyusun rencana untuk esok hari agar perencanaan waktunya lebih baik.
Naik bis itu menyenangkan loh, karena meski di luar macet, kita sebagai penumpang tetep bisa tidur nyenyak atau ngobrol enak, haha.