Wednesday, September 30, 2015

Talk to Myself

Tetiba pingin nulis tentang sesuatu, walau belum ngerti juga mau nulis apa. Yeah, this is me. Random is my middle name. Tiba-tiba terpikir hal yang sama sekali nggak penting, lalu bicara sendiri dimana saja, kapan saja. "Penyakit" ini semakin parah bertahun-tahun karena saya intens bermotor sendiri. Ketika mengendarai motor, saya selalu bicara seperti dengan seorang teman, padahal saya berbicara dengan diri sendiri. That's why I always wear my mask. Itulah fungsi utama masker buat saya, bukan lagi untuk menyaring udara tapi untuk nutupin "penyakit" saya. Supaya saya nggak keliatan lagi bicara sendiri. Sekarang sih, saya tidak lagi berangkat kerja mengendarai motor, jadi frekuensi talk to myself juga berkurang. Mulai bulan September ini, saya berangkat menumpang bis, jadi agak mustahil juga bicara sendiri tanpa terlihat orang lain, kecuali kalo bisnya benar-benar sepi dan saya duduk sendiri. Momen bicara sendiri, bisa saya nikmati lagi ketika saya jalan kaki dari dan ke rumah.
Kadang seru juga sih, bicara sendiri. Saya menemukan diri saya yang lebih lepas dan (kadang) lebih cerdas. Yaah, dalam lingkungan sosial kan nggak selamanya kita bisa mengungkapkan sampah atau emas yang ada dalam pikiran kita ke orang lain. Iya kalo orang itu bisa terima, kalo nggak, walhasil kita bakal dinilai kurang baik di mata mereka.

Jika sebagian orang terutama perempuan menjadikan perawatan diri ke salon, belanja, atau memasak me time mereka, bagi saya bicara sendiri memberi relaksasi tersendiri. Jadi, jika melihat ada orang bicara sendiri, tak usah dihiraukan. Anggap saja mereka sedang menghibur diri sendiri :-).

Monday, September 7, 2015

Menunggu itu Berjuta Rasanya

Menunggu itu berjuta rasanya. Sungguh!
Ditambah lagi jika hal yang ditunggu itu tidak jelas kapan datangnya. 

Kali ini saya harus menunggu selama lebih dari lima bulan. Kalau mengikuti kata hati, jelas menunggu itu adalah hal yang menyebalkan. Fase menunggu dan galau saya kali ini, sungguh mengerikan. Saya jadi nggak gajian, yang berarti saya mengalami bokek kronis. Kalau biasanya dengan rutinitas harian, saya masih bisalah, dengan optimis merencanakan jalan-jalan, kali ini sungguh, untuk mengganti baterai jam tangan saja saya harus berpikir berulang-ulang. Terdengar lebay? Yoi! Penantian ini juga lebay buat saya *sigh*.

Well, bagaimanapun yang sudah terjadi tak usah disesali. Situasi ini juga adalah pilihan saya. Satu hari saya akan mengenang ini sambil senyum-senyum kok, insya Allah.

Syukurlah, saya termasuk orang yang kreatif kalau kepepet (oh! really?).
Inilah bukti pikiran kreatif saya: 
  • Saya berolahraga hampir setiap pagi dan tidur siang setiap siang, hahaha. Ini hal yang nggak bisa saya lakukan kalau saya bekerja.
  • Saya jadi teringat kalau saya punya tabungan unitlink yang bisa dicairkan kapan saja. Jadi, sudah tahu kelanjutannya, kan? 
  • Saya memulai usaha laundry kiloan yang sudah saya inginkan sejak lama, melirik banyaknya usaha sejenis yang tidak pernah sepi. Walau dengan modal seadanya dan tenaga sendiri. Judulnya, saya jadi direktur sekaligus pekerja di perusahaan laundry saya *ngakak guling-guling.
Sekarang sih, saya sudah mulai bekerja kembali, walau belum tahu apakah sudah akan berpenghasilan kembali juga. Kok bisa? Nanti saya ceritakan lagi ketika segalanya sudah jelas ya.

Inti dari tulisan (baca:curcol) saya kali ini adalah, menunggu itu menyebalkan, jika tidak ada yang bisa dikerjakan sambil menunggu. Dalam kasus saya, penantian saya menyebalkan karena saya dalam kondisi tidak berduit! Menyebalkan karena saya nggak bisa jalan-jalan dan senang-senang. Eh, saya sempat jalan-jalan juga sih, naik gunung dua kali. Itu di awal menanti, karena waktu itu saya nggak nyangka bakal harus menunggu sekian lama.
Saya masih dalam masa penantian sih, tapi saya belajar banyak dari proses ini. Belajar menghargai banyak hal dan memahami makna sabar serta melihat apa yang dimiliki, bukan apa yang diinginkan tapi belum ada.