Sebagai jomblo senior dan berpengalaman
*gaya*, saya tentu sudah sering menanggapi pertanyaan :
- “Udah nikah belum?” Ketika saya jawab, “Belum”, maka percakapan menyebalkan berlanjut ke
- “Kapan nikah?” atau…
- “Kok belum nikah?” bisa juga…
- “Pilih-pilih sih ya?”
- dan sebagainya.
Nah, pertanyaan yang terakhir biasanya
saya jawab, “Apa yang mau dipilih?” dan percakapan itu berlanjut dengan tawa
kami. Iya, menertawakan saya tentu. Padahal dalam hati saya, masak iya saya
nggak pilih-pilih, beli bakwan yang sekali lahap habis saja, saya memilih yang
masih hangat, ukurannya cukup besar, dan tidak terlalu kering, misalnya. Tentu
untuk pernikahan yang diharapkan sekali seumur hidup, saya harus juga punya
kriteria, walau belum tentu pria yang memenuhi kriteria saya, berminat dengan
saya. *tertawa miris* *sigh*
Dari berbagai jenis manusia yang saya temui
dan menanyakan pertanyaan “neraka” itu (lebay deh), saya bisa mengetahui apakah
orang ini benar-benar peduli atau sekedar iseng bertanya. Malangnya, sebagian
besar orang yang saya temui menanyakan pertanyaan itu sekedar iseng atau untuk
bahkan menjadikan status saya bahan untuk tertawaan. Ada juga orang yang
benar-benar peduli. Mereka ini justru tidak banyak bertanya. Bahkan, walau
kadang mereka sangat ingin mengetahui, pertanyaan langsung tidak akan
terlontar. Mereka memilih untuk menyelidik sendiri. Tujuannya tentu saja untuk
menjaga perasaan saya agar tidak tersinggung atau merasa canggung. Jika saya
bertemu orang-orang yang benar-benar peduli seperti ini, maka saya pun akan
berusaha menjaga perasaan mereka. Otomatis saja terjadi.
Bagaimana
dengan mereka yang banyak bertanya padahal sesungguhnya tidak peduli? Pada
umumnya saya tetap akan bersikap baik. Lupakan saja tawa mereka karena
“perbedaan prinsip” kami, yang penting saya berusaha tidak melakukan hal yang
sama dengan mereka sehingga menempatkan saya menjadi sama dengan mereka. It’s fine if they think different with me. They don’t live my life and I don’t live theirs.
No comments:
Post a Comment