Monday, October 19, 2015

Peduli itu...

Sebagai jomblo senior dan berpengalaman *gaya*, saya tentu sudah sering menanggapi pertanyaan :
  1. “Udah nikah belum?” Ketika saya jawab, “Belum”, maka percakapan menyebalkan berlanjut ke
  2. “Kapan nikah?” atau…
  3. “Kok belum nikah?” bisa juga…
  4. “Pilih-pilih sih ya?”
  5. dan sebagainya.
Serta berbagai bentuk pertanyaan senada yang memuakkan pada awalnya tapi semakin lama mendengarnya, jadi terasa bagai angin lalu. Ya lah, bagaimana pun juga saya nggak akan pernah bisa mengendalikan apa yang akan dikeluarkan orang dari mulutnya. Istilah mulutmu harimaumu tidak berlaku untuk semua orang. They don’t even know that it exists. Semua bentuk pertanyaan di atas sebenernya sih sama-sama menyebalkan tapi dengan kadar yang berbeda.

Nah, pertanyaan yang terakhir biasanya saya jawab, “Apa yang mau dipilih?” dan percakapan itu berlanjut dengan tawa kami. Iya, menertawakan saya tentu. Padahal dalam hati saya, masak iya saya nggak pilih-pilih, beli bakwan yang sekali lahap habis saja, saya memilih yang masih hangat, ukurannya cukup besar, dan tidak terlalu kering, misalnya. Tentu untuk pernikahan yang diharapkan sekali seumur hidup, saya harus juga punya kriteria, walau belum tentu pria yang memenuhi kriteria saya, berminat dengan saya. *tertawa miris* *sigh*

Dari berbagai jenis manusia yang saya temui dan menanyakan pertanyaan “neraka” itu (lebay deh), saya bisa mengetahui apakah orang ini benar-benar peduli atau sekedar iseng bertanya. Malangnya, sebagian besar orang yang saya temui menanyakan pertanyaan itu sekedar iseng atau untuk bahkan menjadikan status saya bahan untuk tertawaan. Ada juga orang yang benar-benar peduli. Mereka ini justru tidak banyak bertanya. Bahkan, walau kadang mereka sangat ingin mengetahui, pertanyaan langsung tidak akan terlontar. Mereka memilih untuk menyelidik sendiri. Tujuannya tentu saja untuk menjaga perasaan saya agar tidak tersinggung atau merasa canggung. Jika saya bertemu orang-orang yang benar-benar peduli seperti ini, maka saya pun akan berusaha menjaga perasaan mereka. Otomatis saja terjadi.

Bagaimana dengan mereka yang banyak bertanya padahal sesungguhnya tidak peduli? Pada umumnya saya tetap akan bersikap baik. Lupakan saja tawa mereka karena “perbedaan prinsip” kami, yang penting saya berusaha tidak melakukan hal yang sama dengan mereka sehingga menempatkan saya menjadi sama dengan mereka. It’s fine if they think different with me. They don’t live my life and I don’t live theirs.

No comments:

Post a Comment