Friday, October 9, 2015

Menghirup Dedak

Malam kemarin, di grup whatsapp teman kuliah saya, seorang teman yang masih aktif di kampus karena menjadi salah satu tenaga pengajar disana, memposting gambar seorang pria yang pernah mendidik kami semua di kampus. Bapak dosen kami yang ganteng dan suka menyelipkan celetukan ala stand up comedy (pendengar tertawa spontan, yang melucu tetap berwajah datar) ketika memberi kuliah di kelas. Pak dosen kami ini sekarang sudah bergelar guru besar. Selamat ya, Pak! Dalam foto itu, terlihat pak dosen sedang menghadiri sebuah acara bincang-bincang di salah satu stasiun televisi swasta. Beliau menjadi pembicara ahli tentang asap dan kebakaran hutan di Pulau Sumatra dan Kalimantan. Saya tidak akan membahas apa isi acara tersebut, karena saya pun tidak menyaksikannya. Perbincangan dengan topik serupa kemudian berpindah ke grup kami. Berbagai nada nyinyir dan kecewa terhadap tindakan presiden pun terlontar. Ucapan pak presiden yang meremehkan masalah ini membuat kami meradang, padahal sebagian besar dari kami tidak tinggal di wilayah berasap itu. Sungguh, kami ini orang kehutanan atau setidaknya pernah kuliah di Fakultas Kehutanan terbaik di nusantara. Ucapan presiden bahwa masalah asap ini gampang diatasi, sungguh membuat kami sedih. Presiden macam apa yang tidak hati-hati bicara dan bicara tidak dengan hati?

Seorang kawan di Jambi mengeluh bahwa sudah dalam hitungan bulan, Jambi diselimuti kabut asap yang menyesakkan. Teman saya ini bilang, "Napas serasa menghirup dedak, upil penuh abu, mata belek debu, tenggorokan serasa perlu disapu." Tanpa perlu merasakan langsung pun, deskripsi seperti itu sudah membuat sesak. Alhamdulillah, Jambi sudah bisa sedikit bernapas lega sekarang, berkat hujan yang diturunkan Allah dalam beberapa hari ini. Selalu, manusia yang membuat kerusakan, Dia yang menyelesaikan. Lain Jambi, lain pula Riau. Teman lain yang tinggal di Riau, menginfokan bahwa di pagi hari, visibilitas hanya sekitar 10-20 meter. Innalillahi...

Ada ajakan teman di Kalimantan Selatan untuk "berlibur" di Sumatra dan Kalimantan selama dua hari untuk "menikmati" asap. Saya langsung berkomentar, "Jangankan dua hari, ada tetangga bakar sampah dan asapnya masuk rumah aja rasanya udah sebel." Padahal durasi asap dari bakaran sampah tetangga, nggak sampai satu jam, kan?

Semoga hujan semakin sering turun dan menghapus asap yang menyakiti saudara-saudara kami. Mudah-mudahan pemerintah mampu bertindak tegas terhadap para pembakar hutan, sehingga peristiwa kebakaran hutan yang merugikan dan memalukan ini tidak lagi terjadi di kemudian hari.

No comments:

Post a Comment