Friday, January 22, 2016

Antara Pilihan dan Takdir

Manusia selalu dihadapkan pada pilihan-pilihan dalam hidupnya. Klise ya? Semua orang juga tahu itu. Lah, emang saya juga nggak sedang berusaha membuat teori baru dalam kehidupan kok, haha. Siapa diri kita, bagaimana hidup kita, itu adalah hasil dari banyak pilihan yang telah kita buat. Sekolah yang kita pilih, jurusan kuliah yang kita atau orang sekitar kita pilihkan untuk kita, pekerjaan yang kita jalani sekarang, bahkan kepribadian kita, itu pun hasil dari pilihan kita. Hal sederhana seperti datang jam berapa kita ke tempat kerja atau ke sekolah itu juga bentuk pilihan. Bagi sebagian orang, memilih berolahraga dan menjalani pola hidup sehat, itu pun pilihan. Adapun ketika kita sudah memilih untuk menjalani pola hidup sehat dengan maksud supaya sehat tapi ternyata tetap sakit juga, itu adalah takdir. 

Saya membuka percakapan sederhana dengan seorang teman beberapa hari yang lalu tentang pilihan atau takdir ini. Dalam kehidupan yang relatif singkat ini, kita cenderung dihadapkan pada berbagai pilihan yang sering kali memusingkan kepala dan membuat galau. Pilihan kadang juga melibatkan orang lain tentu saja, terutama jika keputusan dari pilihan itu akan berpengaruh juga ke orang-orang terdekat kita. Let's say, sekolah. Kalau dipikir pendek, "Saya ini yang sekolah, saya  yang menjalani. Nanti yang jadi pinter atau tetap bodoh juga saya." Oke, pikiran kayak gitu ada benarnya, tapi nggak sepenuhnya benar. Pendidikan itu berpengaruh pada pekerjaan kita di masa depan. Kita sebagai orang Indonesia yang biasa-biasa saja secara ekonomi, tentu suatu saat akan harus mencari pekerjaan untuk mendukung hidup kita. Kalau pendidikan kita nggak memadai, tentu akan sulit mencari pekerjaan yang layak untuk hidup kita. Lain soal jika kita adalah orang yang lincah membuat jaringan dan membangun bisnis yang oke punya. Pendidikan jadi bukan masalah besar. Toh, kita bisa membiayai hidup kita dari bisnis yang menjanjikan, tapi kan nggak banyak orang yang seperti itu. Saya kenal beberapa orang yang menyesali pilihan mereka tentang pendidikan ini. Tidak ada jalan kembali, karena waktu yang sudah bergulir, tidak mungkin diputar kembali. Oh ya, dampak dari pilihan pendidikan ini banyak berpengaruh ternyata kepada keluarga dan orang-orang terdekat. Gampangnya gini, kalau kita ternyata di masa depan tidak bisa membiayai diri sendiri secara layak, maka siapa yang akan direpotkan? Keluarga tentu, kan? Keluarga itu adalah lingkaran terdekat yang paling tidak bisa berdiam diri ketika sesuatu terjadi dalam hidup kita. Malah kadang, ketika kita senang, keluarga hanya bisa ikut berbahagia, namun tidak bisa merasakannya langsung. Sebaliknya, kesusahan kita sudah menjadi kesusahan bagi keluarga. 


No comments:

Post a Comment