Pilihan lainnya adalah cinta. Halah, berat amat ngomongin cinta! Oke,
jangan ditimpukin dulu. Baca dulu, kalo ternyata ecek-ecek nyebelin,
boleh lah timpuk saya. Pakai lembaran kertas yang ada gambar I Gusti
Ngurah Rai atau para proklamator ya.
Sebagai pembuka, saya hendak mengutip kata-kata Mbah Sujiwo Tejo,
"Menikah itu nasib, mencintai itu takdir. Kau bisa berencana menikahi siapa, tapi tak dapat kau rencanakan cintamu untuk siapa."
Menurut saya, baik mencintai atau menikah, keduanya adalah pilihan yang kemudian menjadi takdir. Jangan bilang gini, "Emang udah takdirnya saya punya suami atau istri yang begini begitu, bla bla bla." Atau ada orang yang tidak setia dengan alasan mencintai orang lain atau bahkan tidak (lagi) mencintai pasangannya. Mencintai atau tidak, bukan alasan untuk tidak setia.
Takdir itu pada hakikatnya adalah buah dari keputusan atas pilihan-pilihan kita. Begitu pula dalam urusan cinta. Bisa nggak kita berencana kejatuhan cinta? Mungkin nggak, seperti kata banyak orang dan yang sering juga kita saksikan di banyak film, baca dalam cerita novel, atau alami sendiri. Cinta itu datang tiba-tiba, mirip-mirip dengan jelangkung. Datang tak diundang, tapi repotnya, perginya si cinta ini sering kali bahkan sudah diantar, diusir, tetap nggak mau pergi juga, malah semakin lekat di ingatan. Eh, curcol, maap!
Peristiwa kejatuhan cinta atau biasa disebut jatuh cinta, mungkin memang tidak bisa direncanakan, namun pilihan untuk tetap membersamai cinta itu atau meninggalkannya, itu adalah pilihan. Apalagi jika cinta itu terlihat rumit dan tidak jelas arahnya, serba kabur. Maka lupakanlah, itu bukan cinta sejati.
Melupakan cinta, itu perkara lain. Teorinya, jika tidak jelas, rumit lalu lupakan. Praktiknya, tentu tidak semudah itu. Ingatan itu unik. Semakin berusaha dilupakan, maka semakin lincah dia bermain-main di memori. Paling mungkin, alihkan ke ingatan lain atau sekalian eksplorasi menjadi novel, puisi, lagu atau apalah yang berbuah keuntungan. Bagi saya, hal-hal yang berkaitan dengan perasaan, tinggal perkara mau atau tidak. Nah, memilih mau atau tidak, itu hak prerogatif. Perkara kemudian ada banyak faktor yang membuat proses move on itu tidak mudah, ya kembali pada keputusan untuk mau atau tidak. Sekali bergerak maju, tidak boleh sering-sering melihat ke belakang. Perasaan dan ingatan itu kadang menipu dan melenakan.
Sebagai pembuka, saya hendak mengutip kata-kata Mbah Sujiwo Tejo,
"Menikah itu nasib, mencintai itu takdir. Kau bisa berencana menikahi siapa, tapi tak dapat kau rencanakan cintamu untuk siapa."
Menurut saya, baik mencintai atau menikah, keduanya adalah pilihan yang kemudian menjadi takdir. Jangan bilang gini, "Emang udah takdirnya saya punya suami atau istri yang begini begitu, bla bla bla." Atau ada orang yang tidak setia dengan alasan mencintai orang lain atau bahkan tidak (lagi) mencintai pasangannya. Mencintai atau tidak, bukan alasan untuk tidak setia.
Takdir itu pada hakikatnya adalah buah dari keputusan atas pilihan-pilihan kita. Begitu pula dalam urusan cinta. Bisa nggak kita berencana kejatuhan cinta? Mungkin nggak, seperti kata banyak orang dan yang sering juga kita saksikan di banyak film, baca dalam cerita novel, atau alami sendiri. Cinta itu datang tiba-tiba, mirip-mirip dengan jelangkung. Datang tak diundang, tapi repotnya, perginya si cinta ini sering kali bahkan sudah diantar, diusir, tetap nggak mau pergi juga, malah semakin lekat di ingatan. Eh, curcol, maap!
Peristiwa kejatuhan cinta atau biasa disebut jatuh cinta, mungkin memang tidak bisa direncanakan, namun pilihan untuk tetap membersamai cinta itu atau meninggalkannya, itu adalah pilihan. Apalagi jika cinta itu terlihat rumit dan tidak jelas arahnya, serba kabur. Maka lupakanlah, itu bukan cinta sejati.
Melupakan cinta, itu perkara lain. Teorinya, jika tidak jelas, rumit lalu lupakan. Praktiknya, tentu tidak semudah itu. Ingatan itu unik. Semakin berusaha dilupakan, maka semakin lincah dia bermain-main di memori. Paling mungkin, alihkan ke ingatan lain atau sekalian eksplorasi menjadi novel, puisi, lagu atau apalah yang berbuah keuntungan. Bagi saya, hal-hal yang berkaitan dengan perasaan, tinggal perkara mau atau tidak. Nah, memilih mau atau tidak, itu hak prerogatif. Perkara kemudian ada banyak faktor yang membuat proses move on itu tidak mudah, ya kembali pada keputusan untuk mau atau tidak. Sekali bergerak maju, tidak boleh sering-sering melihat ke belakang. Perasaan dan ingatan itu kadang menipu dan melenakan.
No comments:
Post a Comment