Wednesday, November 25, 2009
Labbaik Allahumma Labbaik...
Menjelang Idul Adha, banyak kisah yang menggetarkan hati tentang ibadah wajib kelima ini, kisah-kisah yang menyadarkan bahwa Allah adalah penggenggam jiwa-jiwa kita. Manusia hanya bisa berencana sedangkan Allah yang memiliki skenario terbaik untuk hamba-hambaNya...
Membaca tulisan ini adalah salah satunya, diambil dari
http://www.eramuslim.com/oase-iman/refleksi-haji-orang-yang-belum-berhaji.htm
“Ayah lihat, bagaimana Yah, pantas tidak?”.
”Waah, anggun sekali. Ayah sampai pangling. Semoga kelak jadi kenyataan ya”. Kuraih bahu putra kedua kami. Kucubit kedua pipinya yang lucu. Kupegang dan kuusap kepalanya. Keningnya kuhujani kecupan sayang.
Model kain ihram yang dikenakannya membawa imajinasi saya mengembara sampai ke padang pasir. Padahal, manasik haji yang akan diikutinya esok hanyalah simulasi. Tetapi tak urung, spirit syi’arnya saya rasakan sangat kental. Darah berdesir halus. Rongga dada terasa dialiri hawa hangat. Ada haru di sana. Ada harapan pula di sana.
Meski hanya simulasi, Saya tertegun. Dalam diam saya sampaikan keluhan,”Ya Rabb, bilakah yang sesungguhnya waktu saya datang? Mungkinkah hamba bisa mengunjungi ”rumah”Mu Bitul’Atiiq yang mulia itu? Dengarlah Ya Rabb. Semoga Engkau berikan istithoo’ah bagi hamba untuk menyempurnakan rukunMu”.
Berhaji pastilah impian setiap muslim yang taat. Menyempurnakan rukun Islam pastilah pula cita-cita dalam ketaatan. Masalahnya hanya lima kemungkinan. Niat dan isthithoo’ah yang keduanya belum sampai. Niat dan keinginan sudah ada, tetapi istithoo’ah yang belum sampai. Isthitoa’ah sudah sampai, tetapi niat belum menjadi ’azam yang kuat. Niat dan isthithoo’ah datang bersamaan tapi takdir menghalanginya ke tanah suci, seperti kuota yang tak tersisa atau kematian yang datang lebih dulu di perjalanan. Dan kemungkinan kelima apabila niat dan isthithoo’ah datang bersamaan dan takdir membawanya ke tanah suci.
Ada saja orang muslim yang tidak menyadari bahwa ia begitu mudahnya diberikan kesempatan oleh Allah untuk memenuhi panggilanNya berhaji, tetapi ia abaikan begitu saja hanya karena alasan masih muda, atau takut tidak kuat ”membawa” hajinya kelak atau masih senang dengan urusan ini dan itu. Sebuah alasan yang tidak masuk dalam kriteria uzur syar’i. Allah memberinya rumah yang elok. Kendaraan yang nyaman. Kedudukan dan penghasilan yang begitu mentereng. Dan fisik masih bugar serta menawan.
Sementara begitu banyak hati yang telah penuh kerinduannya kepada Baitullah, tetapi ia masih harus menundanya untuk beberapa waktu atau entah sampai kapan kerinduannya terpuaskan. Sampai seolah putus asa hingga mengubur keinginannya itu dalam-dalam.
Enggan berhaji dengan alasan masih muda justru sangat aneh. Bahkan semestinya merasa beruntung dapat berhaji di saat usia masih muda dan kekuatan fisik masih prima. Sebab haji merupakan ibadah yang melibatkan hampir seluruh daya dan kesanggupan yang bukan hanya bersifat moril dan materil tapi juga kesiapan badaniyah. Tanyakanlah pada yang sudah perihal thawaf, wukuf, sa’i, melontar jumrah, suhu dingin atau panas yang ekstrem dan belum lagi berdesak-desakan dengan jutaan manusia. Mengapa tidak memanfaatkan masa muda untuk ibadah yang memang menuntut fisik yang prima? Apakah menunggu saatnya semua persendian menjadi rapuh dan terasa ngilu dimakan usia? Atau paru-paru yang tak lagi kuasa menahan angin dingin atau panas dengan batuk yang membandel? Atau menunggu nafas naik turun padahal baru beberapa meter kaki dibawa melangkah?
Berhati-hatilah, alasan takut tidak kuat ”membawa” hajinya kelak atau masih senang dengan urusan ini dan itu, jangan-jangan itu hanya mencari helah atas kewajiban kepada Allah. Sama halnya dengan orang yang mengatakan,”gimana mau sholat, wong hati saja belum tenang memikirkan kebutuhan ini itu”.
Kemampuan menata dan memelihara diri bukanlah datang secara tiba-tiba. Orang menjadi dekat kepada Allah dan sanggup memelihara kesuciannya bukan tanpa usaha. Tetapi semuanya dilakukan dengan kesadaran dan mujahadah sepanjang waktu tanpa henti. Bagaimana mau mempertanggungjawabkan ”predikat” hajinya, jika niatnya saja enggan. Bagaimana hati mau tenang, sedangkan shalat sebagai sumber ketenangan saja enggan didirikan.
Memang bukan berita bohong, bahwa ada Pak Haji yang masih doyan judi. Yang masih suka mencuri juga ada. Bahkan yang masih genit menggoda dan merayu bahkan merebut isteri orang juga ada. Sama halnya orang yang rajin sholat juga rajin korupsinya. Tapi jumlah Pak Haji dan mushalli yang taat juga banyak, mengapa tidak berkaca kepada mereka? Jika kita berkaca kepada pada cermin yang buram, buram pula kelihatan wajah kita. Tetapi berkaca pada cermin yang jernih, maka jernih pula bayangan wajah kita.
Saya teringat cerita dari mulut ke mulut yang santer tentang majlis Buya Hamka. Satu saat beliau ditanya dalam sebuah ta’lim:
”Buya, di komplek kami ada orang yang sudah berkali-kali naik haji. Ibadahnya bagus. Jama’ah dan ta’limnya tidak ketinggalan. Tapi pelitnya tidak karuan. Jangankan dengan tetangga, dengan anak dan isterinya saja kejam, terutama soal belanja. Tapi, tetangga kami yang dokter jangankan haji, maaf, sholatnya juga jarang. Jama’ah tidak pernah kelihatan padahal dekat masjid. Tapi dermawannya luar biasa. Setiap hari ada saja sedekah yang diberikan, terutama untuk anak-anak yatim dan orang miskin. Kami mau tanya, siapa yang lebih baik di antara mereka. Apakah Pak Haji yang rajin ibadah tapi pelit dan kejam atau dokter yang tidak rajin ibadah sholat tapi dermawan?”.
Sesungguhnya pertanyaan demikian mewakili setiap orang. Ambiguitas nilai antara simbol ibadah dengan realitas aksi seolah bertabrakan dan banyak dipertanyakan. Hingga banyak orang jahil menuruti kebodohannya dengan berdalih untuk apa sholat, yang sholat saja korupsi.
Seperti ada kesenjangan antara syariat dengan hakikat. Seperti pertarungan antara kejujuran dengan kebohongan yang masing-masing bersumpah atas nama Tuhan. Tentu tidak membingungkan apabila keduanya jujur. Yang satu bersumpah atas nama Tuhan bahwa ia jujur. Dan yang satu lagi menyebut nama Tuhan, jujur bahwa ia telah berbohong.
Buya Hamka menjawab tidak dengan jawaban hitam-putih, melainkan dengan kearifan dan kedalaman perspektif:
”Andaikan tetangga Ibu yang satu itu belum berhaji dan tidak juga rajin shalatnya, tentu dia akan lebih pelit dan lebih kejam dari apa yang Ibu lihat hari ini. Dan andaikan tetangga Ibu yang dokter itu rajin shalat dan sudah berhaji pula, maka ia akan jauh lebih dermawan dari apa yang Ibu saksikan hari ini”.
Tentu jika cerita tentang ta’lim Buya Hamka ini benar, maka Buya lah yang paling mengerti maksud jawabannya itu. Tetapi dalam banyak keterangan sering kita jumpai bahwa kita dianjurkan mengiringi perbuatan buruk dengan kebaikan sebab dapat menghapuskannya. Ada juga ketegasan bahwa shalat dapat mencegah perbuatan keji dan munkar.
Semangat yang mestinya ditangkap dari pesan tersebut adalah bahwa, semua aktivitas ibadah yang dikerjakan harus menjadi daya dorong bagi pelakunya untuk menjadi lebih baik. Shalat, puasa, zakat dan haji semestinya mengubah perilaku pelit menjadi dermawan, dendam menjadi pemaaf, takabbur menjadi tawaddhu, tamak menjadi qona’ah, kasar menjadi santun dan berbudi. Sebab itulah tahap kedua setelah takbir, ruku, sujud, mengulurkan tangan, melafalkan talbiyah, sa’i, wukuf, jumroh dan tahallul sebagai simbol pertama ibadah itu ditunaikan.
Perubahan ke arah positif sebagai efek dari ibadah ritual banyak bergantung pada seberapa besar penghayatan setiap orang terhadap ibadah yang dikerjakannya itu. Apakah sebatas simbol dan sekedar menggugurkan kewajiban, ataukah berusaha menjadikannya sebagai untaian mutiara iman yang menyatukan antara hakikat di balik simbol di mana ketaatan pada nilai-nilai ritual itu harus diwujudkan dalam ranah sosial.
Sebab, haji sendiri juga ada diperkenalkan idiom ”mabrur” sebagai simbol haji yang diterima dan layak mendapatkan surga. Tentu yang kesabaran, ketaqwaan, kedermawanan dan segala atribut ketaan dan kesalehannya lebih melambung dari sebelum ia pulang dari tanah suci. Ini berarti pula ada haji yang ”mabur” yang tidak bernilai apa-apa di hadapan penguasa Baitullah. Bisa jadi karena niatnya bukan untuk ”memenuhi panggilan Allah” tapi untuk memenuhi ”segala hajatnya” yang dibawanya dari tanah air. Allahu a’lam.
Depok, November 2009.
Saat melihat kain ihram berkelebat dari tubuh mungil Rayyan kusebut untuk semua tamu Allah, semoga menjadi mabrur. Aamiin.
abdul_mutaqin@yahoo.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment